Selasa, 18 Desember 2012

TASAWUF SUNNI DAN FALSAFI



BAB I
PENDAHULUAN

Al-qur’an merupakan kitab Allah yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syari’ah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam al-qur’an. Ayat-ayat al-qur’an itu, di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriyah, tetapi di sisi lain juga ada hal yang perlu dipahami secara kontekstual-rohaniyah. Sebab, jika ayat-ayat al-qur’an dipahami secara lahiriyah saja, akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.1
Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah dan batiniyah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniyah pada gilirannya melahirkan tasawuf. 2 Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-qur’an dan sunnah, serta peraktek kehidupan nabi dan para sahabatnya. 3
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah
 

1. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Pustaka setia : Bandung 2008 M / 1429 H) hlm 18
2. Tentang asal ushul kata tasawuf / shufi terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Diantaranya  ada yang    mengganggap bahwa secara lahiriyah sebutan tersebut hanya semacam gelar, sebab dalam  dalam bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. Sementara yang lain berpendapat bahwa kata shufi berasal dari shafa  ( bening, suci, bersih atau murni),  dengan mengemukakan syair Abu al-Fath al-Basri sebagai berikut :      Tentang shufi orangpun tak sejalan
    Mereka selisih paham dan dari ‘shuff’ dikirakan
    Pada seseorang  gelar ini tidak kukenakan
    Kecuali mereka yang bening hati gelar shufi layak disandangkan
   Ada juga yang berpendapat bahwa kata shufi berasal dari shafwan yang juga berarti bening. Sementara yang lain menganggap bahwa kata shufi berasal dari shaff  atau barisan,  sebab para shufi berada pada barisan paling pertama dihadapan Allah. Yang lain berpendapat kata shufi dinisbatkan pada ahlus shuffah, sekelompok kaum muhajirin dan anshor yang miskin, yang tinggal dalam sebuah ruangan di sisi mesjid rasulullah saw. Mereka yang tinggal dalam ruangan tersebut dikenal tekun beribadah. Menurut pendapat yang lain lagi berpendapat bahwa kata shufi berasal dari nama seorang penjaga ka’bah di jaman jahiliyyah, yaitu Shufah ibn Murrah. Dan ada juga yang berpendapat kata shufi berasal dari kata Yunani, yaitu Sophia, yang berarti kebajikan.  Serta ada pula yang berpendapat bahwa kata shufi berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba. Pada masa awal perkembangan tasawwuf, pakaian bulu domba adalah symbol para hamba Allah yang tulus dan asketis. Lihat DR. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, sufi dari zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani dari  Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam (Bandung : Pustaka. 1418 H / 1997 M). hlm 21. Secara umum tasawwuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia, dalam upayanya merealisasikan kesampurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas dan kebahagian hidup rohaniah.
3. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm 19
perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori prilaku, ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi, atau tasawuf sunni. Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof , disamping sebagai sufi.4
Pembagian dua jenis tasawuf di atas di dasarkan atas kecenderungan ajaran yang dikembangkan, yakni kecenderungan pada prilaku atau moral keagamaan dan kecenderungan pada pemikiran. Dua kecenderungan ini terus berkembang hingga masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, makalah ini akan membahas tentang tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Yang terdiri dari :
BAB I    PENDAHULUAN
BAB II   TASAWUF SUNNI, yang mencakup :
               Pengertian tasawuf  sunni 
               Sejarah perkembangan tasawuf sunni
               Karakteristik/ciri tasawuf sunni
               Tokoh-tokoh tasawuf  sunni
BAB III  TASAWUF FALSAFI, yang mencakup :
               Pengertian tasawuf falsafi
               Sejarah perkembangan tasawuf falsafi
               Karakteristik /ciri tasawuf  falsafi
               Tokohtokoh tasawuf  falsafi
BAB IV  PENUTUP
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana Pengertian, Sejarah perkembangan tasawuf sunni,   karakteristik /ciri tasawuf sunni, dan tokoh-tokoh tasawuf sunni
2. Untuk mengetahui bagaimana Pengertian, Sejarah perkembangan tasawuf falsafi,   karakteristik /ciri tasawuf falsafi, dan tokoh-tokoh tasawuf falsafi
4. Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, sufi dari zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani dari  Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam (Bandung : Pustaka. 1418 H / 1997 M). hlm 140

BAB II
TASAWUF SUNNI
Pengertian tasawuf sunni
Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang para penganutnya memagari atau mendasari tasawuf mereka dengan al-qur’an dan al-sunnah, serta mengaitkan keadaan (ahwaal) dan tingkatan (maqoomaah) rohaniah mereka kepada kedua sumber tersebut.5
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa tasawuf sunni adalah tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan kepada al-qur’an dan al-sunnah.6

Sejarah perkembangan tasawuf sunni
Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam mereka dapat pandang dari dua aspek, yaitu aspaek lahiriyah dan aspek batiniyah atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan pengalaman aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek luarnya yang dimotifasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan Tuhan dan bebas dari egoisme.7
Sejarah dan perkembangan tasawuf sunni mengalami beberapa tahap :
Tahap pertama disebut pula dengan tahap atau fase asketisme (zuhud).8 Sikap  asketisme (zuhud) ini banyak diapndang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Fase ini tumbuh pada abad ke-1 dan ke-2 Hijriah. Pada fase ini, terdapat individu-individu dari

5. Ibid, hlm. 140.  Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm 111
6. DR. Alwi Shihab, PH.D, Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia, Depok : Pustaka Iman. 2009/1430, hlm. 51
7. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 62
8. para peneliti berbeda pendapat tentang factor yang menyebabkan munculnya gerakan zuhud dalam Islam pada abad pertama dan kedua hijriyah. Abu al-Ala Afifi berpendapat ada empat factor yang menyebabkan kelahiran gerakan zuhud dalam Islam, yaitu : 1. Ajaran Islam itu sendiri. Kitab suci al-qur’an telah mendorong manusia agar hidup saleh dan taqwa kepada Allah. 2. Revolusi ruhaniyah kaum muslimin terhadap system social politik yang berlaku. 3. dampak asketisme masehi. Di zaman pra-Islam bangsa Arab terkena dampak para pendeta masehi. 4. Penentangan terhadap fiqih dan kalam. ( Drs. Asmaran As, M.A. Pengantar studi tasawuf, Jakarta : Persada, 1996, hlm. 228-229). Dua factor yang pertama dan kedua disetujui oleh Taftazani, sedangkan dua factor terakhir tidak . lihat Taftazani, Op.cit, hlm. 58.
kalangan kaum muslimin yang lebih memusatkan perhatian dan memprioritaskan dirinya pada ibadah.9 Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak memntingkan makanan, pakaian maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akherat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat popular dari kalangan mereka adalah Hasan al-Basri  dan Rabi’ah al-Adawiyah, kedua tokoh ini dijuluki sebagai zahid.10
Tahap kedua, yaitu sejak abad ke-3 Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu, sehingga ditangan mereka tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlaq keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral akhirnya mendorong untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan akhlaq.11
Kajian yang berkenaan dengan akhlaq ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah diperaktekan semua orang. Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudan landasan-landasan atau alur berfikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini tampaknya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengalaman Islam dalam peraktik yang lebih menekankan keterpujian prilaku manusia. 12.



9.Di zaman nabi, telah juga ada sahabat-sahabat yang menjauhkan diri dari hidup duniawi, banyak berpuasa di siang hari, dan bershalat serta membaca al-qur’an di malam hari, seperti Abdullah ibn Umar, Abu Darda, Abu Dzar al-Ghifari, Bahlul ibn Zuaib dan Kahmas al-Hilali. Bahkan terhadap Abdullah ibn Umar nabi berkata : “Tubuhmu juga mempunyai hak –hak yang harus kau penuhi”. ( Harun Nasution, Islam, ditinjau dari berbagai aspeknya, II, Jakarta : UI-Press, 2008, hlm. 71)
10. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 62.  DR. Alwi Shihab, PH.D, O.p. cit.,hlm. 48. Perlu ditegaskan bahwa dalam perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid (orang yang zuhud). Satu golongan zahid meninggalkan kehidupan duniawi serta kesenagngan materil dan memusatkan perhatian pada ibadat karena didorong oleh perasaan takut akan masuk neraka di akherat. Satu golongan lain bukan oleh perasaan takut, tetapi oleh perasaan cinta kepada tuhan. Tuhan bagi ereka bukanlah suatu zat yang ditakuti dan harus di jauhi, tetapi sautu zat yang harus dicintai dan didekati. ( Harun Nasution, Op. cit, hlm. 75-76)
11. Ibid, hlm. 62-63.
12. Ibid, hlm. 63

Mereka melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlaq-akhlaq atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan bathiniyah ajaran Islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlaq terpuji. Kondisi ini mulai berkembang ditengah kehidupan lahiriyah yang sangat formal dan cenderung kurang diterima oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengalaman ajaran Islam sampai aspek terdalam. 13
Tahap ketiga, yaitu pada abad ke-4 Hijriyah, pada fase ini ilmu tasawuf mengalami perkembangan yang lebih maju dibandingkan pada abad ke-3 Hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya kota Baghdad yang menjadi pusat kegiatan tasawuf yang paling besar pada masa itu tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.14 Namun perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi perkembangan tasawuf di kota Baghdad. Bahkan, penulisan kitab-kitab tasawuf di sana mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qultib Fi Mu’amalatil Mahbub, yang dikarang oleh Abu Thalib al-Makky (w. 386 H).15
Tahap keempat yaitu pada abad ke-5 Hijriyah, pada abad ini muncullah imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasarkan al-qur’an dan al-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain ia


 

13. Ibid
14.upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad, dipelopori oleh beberapa ulama tasawuf yang terkenal kealimannya, antara lain : 1). Musa al-Anshari, mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasaan (Persia atau Iran) dan wafat di sana tahun 320 H. 2). Abu Hamid ibn Muhammad ar-Rubazy, mengajarkan tasawuf di salah satu kota di Mesir, dan wafat di sana tahun 322 H. 3). Abu Zaid al-Adamy, mengajarkan tasawuf di semenanjung Arabiyah dan wafat di sana tahun 314 H. 4). Abu Ali Muammmad ibn Abdil Wahab as-Saqafi, mengajarkan tasawuf di Naisabur dan kota Syaraz, hingga wafat tahun 328 H. (Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, hlm. 64)
15. Ibid, hlm 64-65. kitabnya yang lain diantaranya adalah Qut al-Qulub. Abu Thalib al-Makky adalah salah seorang shufi angkatan pertama yang berpengaruh besar terhadap al-Ghazali, yang tadinya memberi judul kitabnya terseut dengan Thariq al-Murid al-Mushil ila al-Tahid. Dialah tokoh yang menjadikan terminology jalan ( thoriq) mengandung pengertian-pengertian  syari’at Islam dan al-Sunnah, dan menjadikannya sinonim dengan al-thariqoh, as-sunnah, al-shirath al-mustaqim, al-muhajjah, al-minhaj atau al-sabil. ( Taftazani, hlm. 105-106).


melancarkan kritikan tajam kepada para filosof, kaum Mu’tazillah dan bathiniyah. 16 Al-Ghazali lah yang berhasil memancangkan perinsip-perinsip tasawuf yang moderat, yang
seiring dengan aliran ahlussunnah wal jamaah, dan bertentangan dengan tasawuf al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami. 17 Tasawuf pada abad ke-5 H cenderung mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan al-qur’an dan al-sunnah.
Tahap kelima, yaitu abad ke-6 Hijriyah. Pada abad ini tasawuf sunni semakin meluas dan menyebar ke seluruh pelosok duna Islam. Hal ini akibat dari pengaruh kepribadian al-Ghazali yang begitu besar bagi dunia tasawuf. Keadaan ini memberi peluang munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik para muridnya, seperti sayyid Ahmad al-Rifa’i (w.570 H), dan sayyid Abdul Qadir Jaelani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf al-Ghazali. Pilihan yang sama dilakukan generasi berikut, antara lain yang paling menonjol adalah syeikh Abu Hasan al-Syadzili ( w.650 H) dan muridnya Abu Abbas al-Mursi (w. 686 H) serta Ibn Attha Illah al-Sakandari (w. 709 H). 18
Al-Ghazali dipandang sebagi pembela terbesar tasawuf sunni. Pandangan tasawufnya seiring dengan para shufi aliran pertama, para shufi abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah. Ia sering diklaim sebagai seorang shufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah ketasawufan di dunia Islam.19


16.Diantara hal-hal yang menjadi kritkan dan ketidaksetujuan ( bahkan memandang sebagai ahli bid’ah)al-Ghazali terhadap para filosof adalah : 1. Tuhan tidak mempunyai sifat. 2. Tuhan mempunyai substansi basit (sederhana) dan tidak mempunyai mahiyah (hakekat). 3. Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat. 4. tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins dan al-fasl. 5. ala mini tidak bermula. 6. ala mini kekal. 7. pembangkitan jasmani tidak ada. 8. hukum alam tak dapat berubah. 9. jiwa planet-planet mengetahui semua juz’iyyat. 10. planet-planet adalh bintang yang bergerak dengan kemauan. ( Harun Nasution, Falsaah dan mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan bintang, 2010, hlm. 31-32)
17Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm 65-66. lihat juga Alwi Shihab, op.cit,  hlm 49-50. Dalam orientasi umum dan rincian-rinciannya yang dikembangkan al-Ghazali berbeda dengan konsepsi  al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami. Ia menegaskan : “ Kiranya bermanfaat untuk ditegaskan bahwa aku yakin kaum shufi adalah orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah, dan bahwasanya pilihan mereka adalah yang paling tepat, jalan mereka yang teraik, dan moral mereka lebih tinggi. Sekiranya para rasionals, filosof, dan kaum intelektual bergabung untuk mengubah jalan hidup dan moralitas mereka, atau hendak menggagntinya dengan sesuatu yang lain, niscaya tidak menemukan yang lebih baik. Hal ini tiada lain karena segenap hidup kaum shufi, dalam keadaan aktif maupun pasi, lahir dan batin seluruhnya bersumber dari cahaya kenabian. ( DR. Alwi Shihab, PH.D, Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia, Depok : Pustaka Iman. 2009/1430, hlm 50)
18. Alwi Shihab, Ibid, hlm. 50-51
19. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 67.

Karakteristik /ciri tasawuf sunni
Adapun karakter atau ciri dari tasawuf sunni adalah :
1. Melandaskan diri pada al-qur’an dan al-sunnah. Tasawuf jenis ini dalam pengejawantahan ajaran-ajarannya cenderung memakai landasan qur’an dan sunnah sebagai kerangka pendekatannya.
2. Tidak menggunakan terminologi –terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat.20 Terminologi –terminologi yang dikembangkan tasawuf sunni lebih transparan, sehinggga tidak sering bergelut dengan term-term syathahat. Kalaupun ada term yang mirip syathaha itu dianggapnya merupakan pengalaman pribadi dan meeka tidak menyebarkanya kepada orang lain. Juga hal itu dianggap sebagai karamah atau keajaiban yang mereka temui.
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksud di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda antara keduanya, dala hal esensina. Sedekat apapun manusia dengan tuhannya, tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan tuhan.
4. Kesinambungan antara hakekat dengan syare’at. Dalam pengertian lebih khusus keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniyah) dengan fiqih (aspek lahiriyah). Hal ini merupakan konsekwensi dari paham di atas. Karena berbeda denagn tuhan, manusia dalm berkomunikasi dengan tuhan tetap berada pada posisi sebagai objek penerima informasi dari tuhan.
5. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan moral, pendidikan akhlaq, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajali. 21
20. Syathahat adalah ucapan-acapan ganjil yang keluar dari mulut seorang shufi. ( Harun Nasution, Islam, hlm. 83) Menurut al-Ghazali syathahat sangat berbahaya bagi orang awam, menurutnya keganjilan ungkapan itu ada dua : 1. pernyataan panjang lebar tentang cinta kepada Allah maupun rasa penyatuan dengan Allah, yang mustahil dihindarkan oleh sebagian para shufi yang berpaling dari amal-amal lahiriyah, yang akhirnya menyatakan terjadinya penyatuan, seperti mucapan al-Hallaj : Aku yang maha besar. Ucapan begini membahayakan kaum awam, sehingga banyak petani meninggalkan pekerjaan mereka lalu menyatakan ungkapan yang mirip denagnnya. 2. keganjilan ungkapan yang tidak dipahami lahiriyahnya. Ungkapan tersebut biasanya panjang tapi tidak banyak mengandung arti. Bahkan terkadang tidak dimengerti oleh yang mengucapkannya sendiri., hanya terucap dari pikiran yang kacau dan hanya merupakan hasil imajinasinya sendiri. .  ( Taftazani, Op.cit, hlm. 116)
21. .Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 121-122. Takhalli adalah usaha  mengosongkan diri dari prilaku atau akhlaq tercela. Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, prilaku dan akhlaq terpuji. Sedangkan tajalli adalah terungkapnya nur ghaib (Ibid, hlm. 115-119).
Tokoh-tokoh tasawuf sunni
Diantara tokoh-tokoh tasawuf sunni adalah :
1. Hasan al-Basri.
Nama lengkapnya adalah Abu Sai’d al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang amat masyhur dikalangan tabi’in. ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). ia dilahirkan  dua malam sebelum khalifah Umar ibn Khattab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.22
Karir pendidikan Hasan al-Basri di mulai dari Hijaz, ia berguru hampir kepada semua ulama di sana. Bersama ayahnya ia kemudian pindah ke Basrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan al-Basri. Puncak keilmuannya ia peroleh di sana. Hasan al-Basri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran bila ia menjadi imam di Basrah secara khusus dan daerah-daerah lainna secara umum. Tak heran pula bila ceramah-ceramahnya dihadiri seluruh kelompok masyarakat. Disamping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karya tulisnya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyah dan tafsir-tafsir al-qur’an. 23
Diantara ajaran – ajaran tasawuf  Hasan al-Basri adalah :
a. Perasan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b. Dunia adalh negeri tempat beramal.barang siapa bertemu dunia dengan perasan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun barang siapa bertemu dengannya dengan perasan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c. Tafakur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannnya.menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya lagi.
d. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.
e. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.

22. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm 122
23. Ibid, hlm. 123
f. Orang yang beriman senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasan takut : takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta ahaya yang akan mengancam.
g. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, akan kiamat yang akan menagih janjinya.24

2. Al-Muhasibi
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Haris ibn Asad al-Basri al-Muhasibi. Lahir di Basrah pada tahun 165 H (781 M) dan wafat di Basrah pada tahun 243 H (857 M)..25 Ia adalah shufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadits, dan fiqih. Ia figur shufi yang dikenal selalu menjaga dan mawas diri  terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya (karena itu ia digelari al-Muhasibi).. Ia merupakan guru bagi kebanyakan ulama Baghdad. Orang yang paling banyak menimba ilmu darinya dan dipandang sebagai murud yang paling dekat dengannya adalah al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H).26
Al-Muhasibi adalah shufi yang pertama yang menaruh perhatian terhadap pembahasan moral maupun hal-hal yang berkaitan dengannya secara mendalam, seperti latihan jiwa, taubat, kesaban, ridha, tawakal, taqwa, rasa takut, rasa heran, cinta, ingat Allah, jiwa dan penyakit-penyakitnya, dan tningkah laku maupun etika serta fase-fasenya. Ia juga shufi yang mengkompromikan ilmu syare’at dengan ilmu hakekat.27
Al-Muhasibi menulis sejmlah buku. Menurut Abd Mun’im al-Hifni, seorang tasawuf dari Mesir, al-Muhasibi menulis lebih kurang 200 buku. Diantaranya adalah Al-Ri’ayah li Huquuqilllah, al-Washaaya, al-Aql, al-Makasib dan al-Masaail fi amal al-qulub wa al-Jawarih. 28.
Ajaran tasawuf al-Muhasibi diantaranya :
a. Ma’rifah. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifah, yaitu :
    1. Taat. Awal dari kecintaan adalah taat. Taat merupakan wujud kongkrit ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan
24. Ibid, hlm 124.
25. Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 277-278
26. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 125-126.
27. Taftazani, Op.cit, hlm 101.
28. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 126
   bukan sekedar pengungkapan ungkapan-ungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan sementara orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan anggaota tubuh yang lain.
  2. Aktivitas anggota tubuh yang disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan  tahap ma’rifah selanjutnya.
  3.pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan oleh Allah.
4.Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara shufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’. 29
b. Khauf dan raja’. Dalam pandangan al-Muhasibi, khauf dan raja’ menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. khauf dan raja’ hanya bisa dilakukan dengan sampurna hanya dengan berpegang kepada al-qur’an dan al-sunnah. Raja’ dalam pandangan al-Muhasibi seharusnya melahirkan amal shaleh. Tatkal telah melakukan amal shaleh seseorang berhak mengharap pahala dari Allah.30.

3. Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah Abd al-Karim ibn Hawazin al-Qusyairi. Lahir di pada tahun 376 H, di Istiwa, kawasan Naishapur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. 31 Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu Ali al-Daqqaq, seorang shufi terkenal, al-Qusyairi selalu menghadiri majlis gurunya, dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Sang guru ini menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syare’at. Karena itu al-Qusyairi mempelajari fiqih pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr al-Thusi (w.405 H) dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqih kepada Abu Bakr ibn Faurak (w.406 H).selain itu dia pun menjadi murid Abu

 

29. Ibid, hlm. 127
30. Ibid, hlm. 128-130
31. Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 318

 Ishak al-Isfarayini (w.418 H) dan banyak menelaah karya-karya al-Baqillani. 32 Dari situlah, al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin ahlussunnah wal jamaah yang dikembangkan oleh al-Asy’aridan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh aliran tersebut dalam menentang doktrin- doktrin aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat seranmgan keras dan dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Tughrul Bek karena hasutan seorang menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rafidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya, Syikayah ahl as-Sunnah. Menurut Ibn Khulaikan al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengkompromikan syare’at dengan hakekat. Al-Qusyairi wafat tahun 465 H. 33
Adapun ajaran tasawuf al-Qusyairi diantaranya :
a. Mengembalikan tasawuf ke landasan ahlussunnah.34
b. Kesehatan bathin. Maksud dari kesehatan bathin menurut al-Qusyairi adalah dengan berpegang teguh kepada al-qur’an dan al-sunnah. Hal ini ia katakan sebagai protes  /kecaman terhadap para shufi pada masanya yang gemar berpakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka bertentangan dengan mode pakaian mereka. Karena itu ia berkata bahwa kesehatan bathin yang berpegang kepada al-qur’an dan al-sunnah itu lebih penting ketimbang pakaian lahiriyah. Ia berkata : “Duhai, saudarku ! janganlah engkau terpesona oleh pakaian lahiriyah maupun sebutan yang  Kau lihat   (pada para




32. Taftazani, op.cit, hlm. 319
33. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 131
34. Taftazani berkata, Seandainya karya al-qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam, maka akan tampak jelas bagaimana al-qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin ahlussunnah. Sebagaimana pernyataannya : “ketahuilah ! para tokoh aliran ini ( maksudnya para shufi) membina prinsip- prinsip tasawuf atas landasan- landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangn. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlussunah, yang tidak tertandingi serta tidak mengenal macet. Meeka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakn dari etiadaannya. Karena itu, tokoh aliran ini, al-Junaid, berkata : tauhid adalh pemisah hal yang lama dari hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin merka pun didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gambling. Dan ini sepeti yang dikatakan Abu Muhammad al-Jariri : barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.” (Taftazani, op.cit, hlm. 142).

 shufi sezamannya). Sebab, ketika realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para shufi yang mengada-ada dalam berpakaian……setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan mauoun penjauhan diri dari maksiat adalh tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang bathin itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang bathin….35

4. Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid 36 Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad  ibn Ahmad al-Thusi al-Syafi’i. Ia lebih dikenal dengan nama al-Ghazali.37 Ia dilahirkan pada tahun 450 H /1058 M di suatu kampong yang ernama Gazalah, di daerah Tus yang terletak di wilayah khurasan.38
Ayahnya, Muhammad adalah seorang penenun dan mempunayi toko tenun dikampungnya. Ayahnya itu seorang pencinta lmu yang bercita-cita tinggi. Ia selalu berdoa semoga tuhan memberinya purta-putra yang berpengetahuan luas dan mempunyai ilmu yang banyak.dan ia adalah seorang muslim yang saleh yang taat menjalankan agama.39 pada masa kecilnya al-Ghazali belajar pada salah seorang faqih di kota kelahirannya, Thus, yaitu Ahmad al-Radzkani. Lalu ia pergi ke Jurjan dan belajar pada imam Abu Nasr al-Ismaili. Setelah itu dia kembali ke Thus dan terus pergi ke Nishapur. Di sana dia belajar pada seorang teolog aliran asy’ariyah yang terkenal, Abu Ma’al al-Juwaini, yang bergelar imam al-Haramain. Menurut Ibn Khulaikan, di bawah bimbingan gurunya itulah dia “sungguh-sungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai masalah mazhab-mazhab, perbedaan pendapatnya, perbantahannya, teologinya, ushul fiqihnya, dan membaca filsafat maupun hal-hal lain yang berkaitan

35.Taftazani, op.cit, hlm. 143. . Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm.133
36. Ia dipanggil Abu Hamid karena ia mempunyai anak laki-laki yang bernama Abu Hamid. Anak ini meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya alGhazali. Karena anak inilah, alGhazali di gelari Abu Hamid. (Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 135)
37. Ada dua macam penulisan nama al-Ghazali : 1. ditulis dengan “al-Ghazali”, ini berasal dari nama desa /kampong tempat kelahirannya, yaitu Gazalah; karena itu sebutannya ialah al-Ghazali (dengan satu “z”). dan 2. berasal dari pekerjaannya sehari-hari yang dihadapinya dan dikerjakan oleh ayahnya, yaitu menenun dan menjal kain tenunannya yang disebut denagn “gazzal”; karena itu panggilannya adalh al-Gazzali (dengan dua “z”). (Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 322).
38.  Ibid, hlm. 322.
39. Ibid

dengannya, serta menguasai berbagai pendapat tentang semua cabang ilmu tersebut. 40
Samuel M.Zwemer mengatakan ada empat orang yang paling besar jasanya terhadap Islam, yaitu nabi Muhammad sendiri, imam Bukhari sebagai pengumpul hadits yang paling masyhur, imam al-Asy’ari sebagai teolog terbesar dan penantang rasionalisme, dan imam al-Ghazali sebagai seorang “reformer” dan shufi. Nama yang disebut paling akhir ini telah meninggalkan pengaruh yang begitu luas terhadap sejarah Islam dibandingkan dengan siapapun setelah Muhammad. Boleh jadi karena karena jasa dan pengaruhnya yang begitu besar itulah, maka Zwemer dan banyak kaum muslimin kata Nicholson mengatakan : “seandainya setelah nabi Muhammad ada seorang nabi, maka al-Ghazalilah nabinya.41
Diantara karya-karya al-Ghazali adalah : Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Mi’yar al-Ilm (bidang filsafat). Al-Iqtishod fi al-I’tiqod, al-Risalah al-qudsiyah (bidang ilu kalam). Al-Musytasfa, al-wajiz, al-wasit, al-basit (bidang ushul fiqih). Ihya ulul al-din, al-munqiz min al-dholal, Minhaj al-abidin (bidang tasawuf) dan lain-lain.42
Setelah mengabdiakn diri untuk ilmu pengetahuan, menulis dan mengajar, maka pada usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di kota kelahirannya, Tus, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H /19 Desember 1111M, 43 dalam pangkuan saudaranya Ahmad al-Ghazali.44
Ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali diantaranya :
a. Ma’rifah. Di dalam tasawufnya al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-qur’an dan sunnah ditambah dengan doktrin ahlussunnah wal jamaah. Dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnotis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Ismailiyyah, aliran Syi’ah, dan lain-lainnya. Corak tasawufnya adalah

40. Taftazani, op.cit, hlm. 148
41. Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 330
42. Ibid, hlm. 327-328
43. . Ibid, hlm.. 326.
44. Saudara kandungnya, Ahmad al-Ghazali, mengatakan bahwa pada hari senin ketika waktu shubuh, al-Ghazali berwudhu kemudian melakukan shalat, lalu mengatakan, “saya harus mengenakan kain kafan”, kemudian beliau mengambil sendiri, menciumi dan menutupkan pada kedua matanya seraya mengatakan : “dengan rasa tunduk dan patuh, saya menghadap kehadapan radja diraja, kemudian beliau memanjangkan kedua kakinya menghadap kiblat, lalu wafatlah beliau sebelum pagi menyingsing. (Al-Sayyid Abu Bakar ibn Muhammad Syata, Kifayat al-Atqiya wa mihaj asy-fiya, trans : Menapak jejak kaum shufi, dunia ilmu opset, Surabaya, hlm.272)
Psiko-moral yang menutamakan pendididkan moral.hal ini dapat dilihat seperti pada karya-karyanya seperti ). Ihya ulul al-din, Mizan al-amal, Minhaj al-abidin, Bidayah al-Hidayah, Mi’raj al-salikin, dan ayuhal walad. 45
Mengenaai ma’rifah, menurutnya, adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifah bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Qalb dapat mengetahui hakekat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan dengan sirr, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah ketiganya akan menerima iluminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktui tu pulalah, Allah menurunkan cahaya –Nya kepada sang sufi sehinnga yang dilihat sang shufi hanyalah Allah. Di sini, sampailah ia ketingkat ma-rifah.46
Ma’rifah seorang shufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada di rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, ma’rifah menurut al-Ghazali tidak seperti ma’rifah menurut orang awam maupun ma’rifah ulama mutakallimin, tetapi ma’rifah shufi yang dibangun atas dasar dzauq ruhani dan kasyf ilahi. Ma’rifah seperti ini dapat dicapai oleh para khawwas auliya tanpa melalui perantara, langsung dari Allah.47

b. As-Sa’adah.
Menurut al-Ghazali kelezatan dan kebahagian yang paling tinggi adalah melihat Allah. Di dalam kitab kimiya as-sa’adah, ia menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuai dengan watak /tabiat, sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambaryang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu.demikian jga seluruh anggota tubuh, masing-masing kenikmatan tersndiri. Kenikmatan hati –sebagai alat memperoleh ma’rifah-  terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakam kenikmatan yang paling agung yang tiada taranya karena ma’rifah itu sendiri agung dan mulia.48

45. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 140.
46. Ibid, hlm.. 142
47. Ibid, hlm.. 142-143. untuk lebih jelas mengenai perbedaan ma’rifah menurut al-Ghazali yang berbeda dengan ma’rifah menurut pengertian para shufi sebelumnya, lihat  al-Ghazali, Ihya ulum al-din, (Kairo :  Mustafa al-Halb, 1334 H, III, hlm. 12
48. Ibid, hlm.. 143

BAB III
TASAWUF FALSAFI

Pengertian tasawuf falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi /sunni, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. 49

Sejarah perkembangan tasawuf falsafi
Tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad ke enam hijriyyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang terutama dikalangan para shufi yang juga filosof. 50
Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi /filosofis ini, dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India dan agama Nasrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya –meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda sejalan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu—tetap berusaha menjaga kemandirian ajran-ajarannya, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjawab pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf jenis ini, begitu gigih mengkompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminology-terminologi filsafat, tetapi yang maknanya telah disesuaikan denagn ajaran tasawuf yang mereka anut.51
Para shufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai alirannya, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan aliran Stoa, serta aliran Neo-Platonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka

49. Ibid, hlm.. 171. Taftazani, Op.cit.  hlm. 187
50. . Taftazani, Ibid, hlm. 187
51. Ibid, hlm. 187.
pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut Hermetisisme,52 yang karya- karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa Arab, dan filsafat-filsafat timur kuno, baik dari Persia maupun India, serta menelaah filsafat-filsafat para filosof Islam, seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan lain-lain. Mereka juga dipengaruhi aliran bathiniyah sekte Ismailiyah dari aliran Syi’ah, dan risalah- risalah ikhwan al-Shafa. Disamping itu mereka memilii pemahaman yang luas dibidang ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, kalam, hadits serta tafsir. Jelasnya mereka bersifat ensiklopedis dan berlatar belakang budaya yang bermacam-macam. 53
Selama abad kelima hijriyah, tasawuf falsafi mengalami kemunduran.54 namun pada abad ke enam hijriyah muncul sekelompok tokoh shufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teori-teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya, disebut tasawuf murni bukan, dan murni filsafat pun tidak. Diantara mereka tercatat al-Syuhrawardi al-Maqtul ( w. 549 H), penyusun kitab al-Hikmah al-Isyraq, syeikh akbar Muhyidin ibn Arabi’  ( w. 638 H), Abd al-Haqq ibn Sab’in al-Mursi ( w. 669 H). serta tokoh –tokoh lain yang yang sealiran dengannya. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing , seperti filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme, yang tentunya ajaran tasawuf mereka banyak terpengaruh oleh teori-teori filsafat. Mereka ini
banyak mempunyai teori mendalam mengenai soal jiwa, moral, pengetahuan, wujud, yang berdampak besar bagi para shufi sesudahnya.55
52..Filsafat Hermetis diatributkan pada Hermes. Dituturkan ia adalah nabi Idris atau Akhnu’ dan kepribadiannya diperselsihi. Hermes dalam kalangan kaum muslimin dipandang sebagai pengasas ilmu pengetahuan. Khsususnya ilmu kedokteran, filsafat , kimia, astronomi dan astrologi. Ia banyak disebut dalam sumber-sumber rujukan Islam. Filsafat hermetis merupakan filsafat lama yang memainkankan peran penting dalam pikiran helenis akhir di Iskandariah dan tulisan –tulisan dari filsafat ini timbul sekitar abad kedua masehi. Dituturkan bahwa penulisnya adalah para pendeta Mesir yang menguasai bahasa Yunani yang masuk warga Negara Mesir. Filsafat ini dipandang sebagai paduan antara Platonisme, kebijakan Mesir, dan sebagian mitologi Yunani. Kecenderungan umumnya ialah kembali pada masa lampau. Para pengikut filsafat ini begitu mengagungkan Plato dan Pythagoras dan mereka lebih mendahulukan wahyu dan ilham ketimbang penelitian intelektual rasional dalam pengetahuan. Dalam menopang pendapat-pendapat mereka, mereka mengkaitkan filsafat dengan dunia timur dan para nabinya. Kaum muslimin mengenal filsafat hermetis setelah penaklukan Mesir dan Syam dan mereka menelaah sebagian karya dari filsafat itu. ( Taftazani, Sufi dari zaman ke zaman, hlm. 268 )
53. Ibid, hlm. 188
54. Hal ini imbas dari kejayaan dari teologi ahlussunah wal jamaah yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asyari  ( w. 324 H) yang begitu piawai dalam menggagas pemikiran-pemikitan sunninya, terutama dalam bidang ilmu kalam.  lihat . Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Pustaka setia : Bandung 2008 M / 1429 H) hlm 69.  lihat juga Taftazani, Op.cit, hlm 140. selain itu juga disebabkan oleh hadirnya imam al-Ghazali yang dengan keluasan dan kedalaman ilmunya banyak mengkritik tasawuf falsafi. 
55. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, hlm. 71

Dengan munculnya para shufi yang juga filosof ini, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yakni tasawuf akhlaqi. Pada penyebutan selanjutnya, tasawuf akhlaqi kemudian identik dengan tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh shufi-shufi dalam memagari tasawufnya dengan al-qur’an dan sunnah. Dengan demikian jelas sekali adanya klasifikasi aliran tasawuf menjadi dua, yakni tasawuf sunni  yang lebih berorientasi menampilkan pengokohan akhlaq, dan tasawuf falsafi yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya.56
Karakter /cirri tasawuf falsafi
1.Ajaran-ajaran tasawufnya merupakan perpaduan antara ajaran tasawuf denmgan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani.
2. Para tokohnya mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam, sejalan dengan ekspansi Islam yang berjalan saat itu.
3. Adanya terminologi-terminologi filsafat dalam pengungkapan ajaran-ajarannya yang maknanya disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut dan berkecenderungan mendalam pada pantaisme.
4.Trekadang menimbulkan ungkapan-ungkapan yang samar (syathahat) akibat dari banyaknya peristilahan khusus yang hanya dimengerti oleh kalangan tertentu.57
5.  Obyek utama yang menjadi perhatian para shufi filosofi adalah :
    a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta nintropeksi diri yang timbul darinya.
    b. Iluminasi ataupun hakekat yang tersingkap dari alam ghaib.
    c. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai   bentuk keluarbiasaan.
    d. Penciptan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya samar-samar.
56.Tokoh pertama yang dapat dipandang sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah dari Cordopa, Andalusia ; w. 319 H. ia adalah filosof pertama yang muncul di Andalusia dan sekaligus dapat disebut filosof sufi pertama di dunia Islam. Ia menganut pham emanasi, yang mirip dengan paham emanasi Plotinus ( w. 270 M.) tingkatan- tingkatan wujud yang memancar dari tuhan, dalam pahamnya, adalah materi pertama yang bersifat rohaniyah, kemudian akal universal, diikuti jiwa universal, kemudian nature universal, dan terakhir materi kedua yang bersifat murakkab ( tersusun ). Menurutnya, melalui jalan tasawuf, manusia dapat melepaskan  jiwanya dari belenggu penjara badan, dan memperoleh karunia tuhan berupa penyinaran hati dengan sinar tuhan. Itulah ma’rifat yang memberikan kebahagian sejati. Ia juga menganut paham bahwa kehidupan ukhrawi itu bersifat rohaniyah spiritual. ( Ibid, hlm. 70 )
57. Taftazani, Op.cit, hlm. 187-189
Tokoh-tokoh tasawuf falsafi
1. Ibn Arabi
Nama lengkapnya Muhammad ibn Ali ibn Ahmad ibn Abdullah ath-Thai’ al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia tenggara, Spanyol, pada tanggal 17 Ramadhan tahun 560 H / 28 Juli 1163 M,  dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal di sana pada tanggal 28 Rabi’ul akhir 638 H / 16 November 1240 M. Namanya biasa disebut tanpa “al” (bukan Ibn al-Arabi) untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibn al-Arabi, seorang qodhi dari sevilla yang wafat tahun 543 H. di Sevilla spanyol ia mempelajari al-qur’an, hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm az-Zahiri. 58
Diantara karya monumentalnya adalah Al-Futuh alMakiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Turjuman al-Asywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketaqwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang shufi dari Persia. Karya lainnya : Masyahid al-Asrar, mathali’ al-anwar al-ilahiyyah, hilyat al-abdal, al-ma’rifah al-ilahiyah, al-isra’ ila maqam al-atsna, muhadharat al-abrar, kitab al-akhlaq, dan lain-lain.59
Ajaran –ajaran tasawuf  Ibn Arabi adalah :
a. Wahdah al-Wujud (kesatuan wujud).
Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada hakekatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antra keduanya (khaliq dan makhluq) dari segi hakekat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandangan panca indera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakekat apa yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan zatiyah yang segala sesuatuberhimpun pada-Nya. Sedangkan ala mini menurut Ibn Arabi pada hakekatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakekat alam.tidak ada perbedaan wujud yang qadim yang disebut khaliq dengan wujud yang  baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara abid (yang menyembah) dan ma’bud (yang disembah).bahkan antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu.60
58. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag,op.cit, hlm. 174-175.  Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 339.
59. Ibid., hlm 175
60.Ibid., hlm 17176-177

b. Haqiqah Muhammadiyyah
Dalam tori Ibn Arabi terjadi alam ini tidak bisa dipisahkan dengan ajarannya tentang Haqiqah Muhammadiyyah / nur Muhamad .Ibn Arabi mengatakan bahwa nur Muhamad adalah sesuatu yang pertama sekali wujud (menitis) dari nur ilahi, menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaanalam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut : pertama, wujud tuhan sebagai wujud mutlaq, yaitu zat yang mandiri dan tidak berhajat kepada sesuatu apapun. Kedua, wujud Haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya.61
c. Wahdah al-Adyan (kesatuan agama)
mengenai wahdah al-Adyan, Ibn Arabi memandang bahwa sumner agama adalah satu, yaitu hakekat Muhammadiyyah. Konsekwensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu adalah kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. 62

2. Abdul Karim al-Jilli
Nama lengkapnya Abdul Karim ibn Ibrahim al-Jilli. Ia lahir pada tahun 767 H/1365 M. di JIlan (Gilan), sebuah propinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 805 H/1417 M. (riwayat lain tahun 1403 M). Nama al-Jilli diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang shufi terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melaukan perjalanan ke India tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf di  bawah bimbingan Abdul Qadir al-Jaelani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal.di samping itu berguru pula kepada Syeikh Syarafuddin Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti di Jabid (Yaman0 tahun 1393-1403 M. 63
Kitab al-Jilli yang terkenal yang menggambarkan ajaran tasawufnya, khususnya tentang konsep al-insan al-kamil (mansia sampurna) berjudul Al-insan al-kamil fi ma’rifah al-awakhir wa alawali (dua juz untuk satu buku, yang memuat 63 bab : 41 bab untuk juz
 

61. Ibid., hlm 182-183.
62. Ibid.
63.Ibid., hlm 184
 pertama dan 22 bab untuk juz kedua). Kitab ini menurutnya, ditulis berdasarkan intruksi Allah yang diterimanya melalui ilham. 64
Adapun ajaran tasawuf al-Jilli adalah :
a. Insan Kamil (mansia sampurna). Menurutnya insan kamil (mansia sampurna) adalah      nuskhah atau copi tuhan, seperti disebutkan dalam hadits : “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang maharahman”. Juga hadits lain : “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”. Sebagaiman diketahui Alah memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak dan sebagainya. Manusia (Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinay. Sebab, nama-nama dan sifat-sifat tersebut tidak memilii tempat berwujud, melainkan pada insan kamil. 65
b. Maqoomat (martabat). Sebagai  seorang shufi al-Jilli –dengan membawa filsafat insan kamil- merumuskan beberapa maqom yang harus dilalui seorang shufi yang menurut istilahnya disebut al-Martabat (jenjang atau tingkat). Yaitu : Islam, Iman, Shaleh, Ihsan, Syahadah, shiddiqiyyah dan qurban.66

3. Ibn Sabi’in
Nama lengkapnya Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhammad ibn Nasr, seorang shufi juga filosof dari Andalusia. Ia dipanggil Ibn Sabi’in dan digelari quthbuddin, terkadang ia dikenal pula dengan Abu Muhammad dan mempunyai usal usul Arab, dan dilaahirkan tahun 614 H /1217/1218 M) di kawasan Murcia.ia mempelajari bahasa Arab  dan sastra pada sekelompok gurunya, ia juga mempelajari ilmu-ilmu agama dari mazhab Maliki, ilmu –ilmu logika, dan filsafat. Ia mengatakan bahwa diantara guru-gurunya itu adalah Ibn Dhihaq, yang dikenal dengan Ibn Mir’ah (w.611 H), pensyarah kitab al-Irsyad, karya al-Juwaini. Karena Ibn Sabi’in lahir 614 H, sementara Ibn Dhihaq lmeninggal 611 H, jelas bahwa Ibn Sabi’in menjadi murid Ibn Dhihaq hanya lewat kajiannya terhadap karya-


64. Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 348
65. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag,op.cit, hlm. 185
66. Ibid, hlm. 189.

karya tokoh tersebut. Begitu juga dalam hal hubungannya dengan dua guru yang linnya, yaitu al-Yuni (w,622 H) dan al-Hurani (w. 538 H ) yang kedua ahli tentang huruf maupun nama. Menurut salah seorang murid Ibn Sabi’in yang mensyarah kitab al-Ahd, hubungan antara Ibn Sabi’in dan para gurunya tersebut lebih banyak terjalin lewat kitab ketimbang secara langsung. 67
Ibn Sabi’in meninggalkan karya sebanyak 41 buah yang menerangkan tasawufnya secara teoritis maupun peraktis, dengan ncara yang ringkas maupun panjang lebar. Kebanyakan karya-karyanya telah hilang. Sebagian risalahnya telah disunting Abdurrrahman al-Badawi dengan judul Rasaa’il Ibn Sabi’in, dan karyanya  yang lainnya , jawab shahib shiqiliyyah, tellah disunting oleh Syarifudin Yaltaqiya, Adapun karyanya yang terpenting, Budd al-Arif, belum lagi diterbitkan.68
Ajaran tasawuf Ibn Sabi’in adalah :
a. Kesatuan Mutlaq. Gagasan paham ini sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Alllah semata. Wujud-wujud lainnya hanyalah wujud Yang satu itu sendiri.  Jelasnya, wujud-wujud lain itu hakekatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang Satu semata. Dengan demikian, wujud dalm kenyataannya hanya satu persoalan yang tetap. Paham ini dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak.69
b. Penolakan terhadap logika Aristolian.
    Paham Ibn Sabi’in tentang kesatuan mutlak yelah membuatnya menolak logika Aristolian. Oleh karena itu, dalam karyanya, Budd al-Arif, ia berusaha menyusun suatu logika baru yang bersifat iluminatif, sebagai pengganti logika yang berdasarkan pada konsepsi jamak. Ibn Sabi’in berpendapat bahwa logikanya tersebut yang dia sebut juga denagn logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan penalaran, tetapi termasuk hembusan ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun mendengar yang belum pernah didengar. Dengan demikian logika tersebut bercorak iluminatif.70



67. Taftazani, op.cit, hlm. 206
68. Ibid, hlm. 209
69.  Ibid, hlm. 210-211. Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 197
70.. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag,op.cit, hlm. 199.
BAB IV
PENUTUP

Demikian pembahasan tasawuf sunni dan falsafi. Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya :
1.Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang para penganutnya memagari atau mendasari tasawuf mereka dengan al-qur’an dan al-sunnah, serta mengaitkan keadaan (ahwaal) dan tingkatan (maqoomaah) rohaniah mereka kepada kedua sumber tersebut
2. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi /sunni, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya
3. Sejarah perkembangan tasawuf sunni mengalami beberapa tahap perkembangan,namun puncaknya berada ditangan al-Ghazali.
4. Demikian pula sejarah perkembangan tasawuf falsafi mengalami tahap-tahap perkembangan, walaupun pada abad ke lima sempat mengalami kemunduran.
5. Diantara tokoh-tokoh tasawuf sunni adalah Hasan al-Basri, al-Muhasibi, al-Qusyairi dan imam al-Ghazali.
6. Diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Arabi, al-Jilli dan Ibn Sabi’in.
7. Tasawuf sunni dan tasawuf falsafi mempunyai karakteristik /cirri masing-masing.
8. Masing-masing dari tokoh-tokoh tasawuf ( baik sunni maupun falsafi) mempunyai ajaran tasawuf masing-masing.










DAFTAR PUSTAKA

. M. Solihin,  Prof. Dr.  M.Ag dan Rosihon Anwar,  Rosihon, Dr.  M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Pustaka setia : Bandung 2008 M / 1429 H)
. Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Dr, sufi dari zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani dari  Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam (Bandung : Pustaka. 1418 H / 1997 M)
Shihab, Alwi, DR. PH.D, Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia, Depok : Pustaka Iman. 2009/1430
 Nasution, Harun,  Islam, ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid II, UI-Press : Jakarta, 2008
…………………..Falsafah dan mitisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang , 2010
Drs. Asmaran As, M.A. Pengantar studi tasawuf, Jakarta : Persada, 1996
Syata, al-Sayyid Abu Bakar ibn Muhammad ,  Kifayat al-Atqiya wa mihaj asy-fiya, trans : Menapak jejak kaum shufi, dunia ilmu opset, Surabaya, 1997
Ghazali, Al,  Ihya ulum al-din,  III, Kairo :  Mustafa al-Halb, 1334 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar