BAB I
PENDAHULUAN
Al-qur’an merupakan kitab Allah yang di dalamnya
terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syari’ah
maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat
yang termaktub dalam al-qur’an. Ayat-ayat al-qur’an itu, di satu sisi memang
ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriyah, tetapi di sisi lain juga ada
hal yang perlu dipahami secara kontekstual-rohaniyah. Sebab, jika ayat-ayat
al-qur’an dipahami secara lahiriyah saja, akan terasa kaku, kurang dinamis, dan
tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara
psikis.1
Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang
bersifat lahiriyah dan batiniyah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang
bersifat batiniyah pada gilirannya melahirkan tasawuf. 2 Unsur
kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran
Islam, al-qur’an dan sunnah, serta peraktek kehidupan nabi dan para sahabatnya.
3
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf
menjadi dua arah
1. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Pustaka setia : Bandung 2008 M / 1429 H) hlm 18
2. Tentang asal ushul kata tasawuf
/ shufi terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Diantaranya ada yang mengganggap bahwa secara lahiriyah sebutan
tersebut hanya semacam gelar, sebab dalam
dalam bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. Sementara yang lain
berpendapat bahwa kata shufi berasal dari shafa ( bening, suci, bersih atau murni), dengan mengemukakan syair Abu al-Fath al-Basri
sebagai berikut : Tentang shufi orangpun tak sejalan
Mereka selisih paham dan dari ‘shuff’
dikirakan
Pada
seseorang gelar ini tidak kukenakan
Kecuali
mereka yang bening hati gelar shufi layak disandangkan
Ada
juga yang berpendapat bahwa kata shufi berasal dari shafwan yang juga
berarti bening. Sementara yang lain menganggap bahwa kata shufi berasal dari shaff atau barisan,
sebab para shufi berada pada barisan paling pertama dihadapan Allah.
Yang lain berpendapat kata shufi dinisbatkan pada ahlus shuffah,
sekelompok kaum muhajirin dan anshor yang miskin, yang tinggal dalam sebuah
ruangan di sisi mesjid rasulullah saw. Mereka yang tinggal dalam ruangan
tersebut dikenal tekun beribadah. Menurut pendapat yang lain lagi berpendapat
bahwa kata shufi berasal dari nama seorang penjaga ka’bah di jaman jahiliyyah,
yaitu Shufah ibn Murrah. Dan ada juga yang berpendapat kata shufi
berasal dari kata Yunani, yaitu Sophia, yang berarti kebajikan. Serta ada pula yang berpendapat bahwa kata
shufi berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba. Pada masa awal
perkembangan tasawwuf, pakaian bulu domba adalah symbol para hamba Allah yang
tulus dan asketis. Lihat DR. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, sufi dari
zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam (Bandung
: Pustaka. 1418 H / 1997 M). hlm 21. Secara umum tasawwuf adalah falsafah hidup
dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia, dalam upayanya merealisasikan
kesampurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas dan kebahagian hidup
rohaniah.
3. Prof. Dr. M.
Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm 19
perkembangan. Ada
tasawuf yang mengarah pada teori-teori prilaku, ada pula tasawuf yang mengarah
pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih
mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama
sering disebut sebagai tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi, atau
tasawuf sunni. Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut
sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang
berlatar belakang sebagai filosof , disamping sebagai sufi.4
Pembagian dua jenis tasawuf di atas di dasarkan atas
kecenderungan ajaran yang dikembangkan, yakni kecenderungan pada prilaku atau
moral keagamaan dan kecenderungan pada pemikiran. Dua kecenderungan ini terus
berkembang hingga masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, makalah ini akan membahas
tentang tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Yang terdiri dari :
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TASAWUF SUNNI, yang
mencakup :
Pengertian tasawuf sunni
Sejarah
perkembangan tasawuf sunni
Karakteristik/ciri tasawuf sunni
Tokoh-tokoh tasawuf sunni
BAB III TASAWUF FALSAFI, yang
mencakup :
Pengertian tasawuf falsafi
Sejarah
perkembangan tasawuf falsafi
Karakteristik /ciri tasawuf falsafi
Tokohtokoh tasawuf falsafi
BAB IV PENUTUP
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana
Pengertian, Sejarah perkembangan tasawuf sunni, karakteristik /ciri tasawuf sunni, dan tokoh-tokoh
tasawuf sunni
2. Untuk mengetahui bagaimana Pengertian,
Sejarah perkembangan tasawuf falsafi, karakteristik
/ciri tasawuf falsafi, dan tokoh-tokoh tasawuf falsafi
4. Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, sufi
dari zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam (Bandung
: Pustaka. 1418 H / 1997 M). hlm 140
BAB II
TASAWUF SUNNI
Pengertian
tasawuf sunni
Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang para
penganutnya memagari atau mendasari tasawuf mereka dengan al-qur’an dan
al-sunnah, serta mengaitkan keadaan (ahwaal) dan tingkatan (maqoomaah)
rohaniah mereka kepada kedua sumber tersebut.5
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa tasawuf sunni adalah
tasawuf yang berwawasan moral praktis dan bersandarkan kepada al-qur’an dan
al-sunnah.6
Sejarah
perkembangan tasawuf sunni
Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari
pemahaman makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in,
kecenderungan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul.
Ajaran Islam mereka dapat pandang dari dua aspek, yaitu aspaek lahiriyah dan
aspek batiniyah atau aspek “luar” dan aspek “dalam”. Pendalaman dan pengalaman
aspek dalamnya mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa
mengabaikan aspek luarnya yang dimotifasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan
perenungan mereka lebih lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup
yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan Tuhan dan bebas dari
egoisme.7
Sejarah dan perkembangan tasawuf sunni mengalami
beberapa tahap :
Tahap pertama disebut pula dengan tahap atau fase
asketisme (zuhud).8 Sikap asketisme
(zuhud) ini banyak diapndang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Fase ini
tumbuh pada abad ke-1 dan ke-2 Hijriah. Pada fase ini, terdapat
individu-individu dari
5. Ibid, hlm. 140. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon
Anwar, M.Ag, op.cit. hlm 111
6. DR. Alwi Shihab, PH.D,
Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia, Depok : Pustaka
Iman. 2009/1430, hlm. 51
7. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag
dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 62
8. para peneliti berbeda
pendapat tentang factor yang menyebabkan munculnya gerakan zuhud dalam Islam
pada abad pertama dan kedua hijriyah. Abu al-Ala Afifi berpendapat ada empat
factor yang menyebabkan kelahiran gerakan zuhud dalam Islam, yaitu : 1. Ajaran
Islam itu sendiri. Kitab suci al-qur’an telah mendorong manusia agar hidup
saleh dan taqwa kepada Allah. 2. Revolusi ruhaniyah kaum muslimin terhadap
system social politik yang berlaku. 3. dampak asketisme masehi. Di zaman
pra-Islam bangsa Arab terkena dampak para pendeta masehi. 4. Penentangan terhadap
fiqih dan kalam. ( Drs. Asmaran As, M.A. Pengantar studi tasawuf, Jakarta : Persada, 1996,
hlm. 228-229). Dua factor yang pertama dan kedua disetujui oleh Taftazani,
sedangkan dua factor terakhir tidak . lihat Taftazani, Op.cit, hlm. 58.
kalangan kaum muslimin yang lebih memusatkan perhatian dan
memprioritaskan dirinya pada ibadah.9 Mereka menjalankan konsepsi
asketis dalam kehidupan, yaitu tidak memntingkan makanan, pakaian maupun tempat
tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan akherat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur
kehidupan dan tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat popular dari
kalangan mereka adalah Hasan al-Basri
dan Rabi’ah al-Adawiyah, kedua tokoh ini dijuluki sebagai zahid.10
Tahap kedua, yaitu sejak abad ke-3 Hijriyah, para sufi
mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dan jiwa dan tingkah
laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya
menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu,
sehingga ditangan mereka tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan
atau ilmu akhlaq keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral akhirnya mendorong
untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan akhlaq.11
Kajian yang berkenaan dengan akhlaq ini menjadikan
tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah diperaktekan
semua orang. Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudan landasan-landasan atau
alur berfikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini tampaknya banyak
ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas
pengalaman Islam dalam peraktik yang lebih menekankan keterpujian prilaku
manusia. 12.
9.Di zaman nabi, telah juga ada sahabat-sahabat yang
menjauhkan diri dari hidup duniawi, banyak berpuasa di siang hari, dan
bershalat serta membaca al-qur’an di malam hari, seperti Abdullah ibn Umar, Abu
Darda, Abu Dzar al-Ghifari, Bahlul ibn Zuaib dan Kahmas al-Hilali. Bahkan
terhadap Abdullah ibn Umar nabi berkata : “Tubuhmu juga mempunyai hak –hak
yang harus kau penuhi”. ( Harun Nasution, Islam, ditinjau dari berbagai
aspeknya, II, Jakarta
: UI-Press, 2008, hlm. 71)
10. Prof. Dr. M. Solihin,
M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 62. DR. Alwi Shihab, PH.D, O.p. cit.,hlm.
48. Perlu ditegaskan bahwa dalam perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid
(orang yang zuhud). Satu golongan zahid meninggalkan kehidupan duniawi serta
kesenagngan materil dan memusatkan perhatian pada ibadat karena didorong oleh
perasaan takut akan masuk neraka di akherat. Satu golongan lain bukan oleh
perasaan takut, tetapi oleh perasaan cinta kepada tuhan. Tuhan bagi ereka
bukanlah suatu zat yang ditakuti dan harus di jauhi, tetapi sautu zat yang
harus dicintai dan didekati. ( Harun Nasution, Op. cit, hlm. 75-76)
11. Ibid, hlm. 62-63.
12. Ibid, hlm. 63
Mereka melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan
menampilkan akhlaq-akhlaq atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami
kandungan bathiniyah ajaran Islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan
anjuran untuk berakhlaq terpuji. Kondisi ini mulai berkembang ditengah
kehidupan lahiriyah yang sangat formal dan cenderung kurang diterima oleh
mereka yang mendambakan konsistensi pengalaman ajaran Islam sampai aspek
terdalam. 13
Tahap ketiga, yaitu pada abad ke-4 Hijriyah, pada fase
ini ilmu tasawuf mengalami perkembangan yang lebih maju dibandingkan pada abad
ke-3 Hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan
ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya kota Baghdad yang menjadi pusat kegiatan tasawuf yang paling
besar pada masa itu tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.14 Namun
perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota
tidak mengurangi perkembangan tasawuf di kota Baghdad. Bahkan, penulisan
kitab-kitab tasawuf di sana
mulai bermunculan, misalnya kitab Qutubul Qultib Fi Mu’amalatil Mahbub,
yang dikarang oleh Abu Thalib al-Makky (w. 386 H).15
Tahap keempat yaitu pada abad ke-5 Hijriyah, pada abad
ini muncullah imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang
berdasarkan al-qur’an dan al-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan
sederhana, pelurusan jiwa dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf
dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain ia
13. Ibid
14.upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf
di luar kota Baghdad,
dipelopori oleh beberapa ulama tasawuf yang terkenal kealimannya, antara lain :
1). Musa al-Anshari, mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasaan (Persia atau Iran)
dan wafat di sana
tahun 320 H. 2). Abu Hamid ibn Muhammad ar-Rubazy, mengajarkan tasawuf di salah
satu kota di Mesir, dan wafat di sana tahun 322 H. 3). Abu
Zaid al-Adamy, mengajarkan tasawuf di semenanjung Arabiyah dan wafat di sana tahun 314 H. 4). Abu
Ali Muammmad ibn Abdil Wahab as-Saqafi, mengajarkan tasawuf di Naisabur dan
kota Syaraz, hingga wafat tahun 328 H. (Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, hlm. 64)
15. Ibid, hlm 64-65. kitabnya yang
lain diantaranya adalah Qut al-Qulub. Abu Thalib al-Makky adalah salah seorang
shufi angkatan pertama yang berpengaruh besar terhadap al-Ghazali, yang tadinya
memberi judul kitabnya terseut dengan Thariq al-Murid al-Mushil ila al-Tahid.
Dialah tokoh yang menjadikan terminology jalan ( thoriq) mengandung
pengertian-pengertian syari’at Islam dan
al-Sunnah, dan menjadikannya sinonim dengan al-thariqoh, as-sunnah,
al-shirath al-mustaqim, al-muhajjah, al-minhaj atau al-sabil. ( Taftazani,
hlm. 105-106).
melancarkan kritikan tajam kepada para filosof, kaum Mu’tazillah dan
bathiniyah. 16 Al-Ghazali lah yang berhasil memancangkan
perinsip-perinsip tasawuf yang moderat, yang
seiring dengan aliran ahlussunnah wal jamaah, dan bertentangan
dengan tasawuf al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami. 17 Tasawuf pada
abad ke-5 H cenderung mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke
landasan al-qur’an dan al-sunnah.
Tahap kelima, yaitu abad ke-6 Hijriyah. Pada abad ini
tasawuf sunni semakin meluas dan menyebar ke seluruh pelosok duna Islam. Hal
ini akibat dari pengaruh kepribadian al-Ghazali yang begitu besar bagi dunia
tasawuf. Keadaan ini memberi peluang munculnya para tokoh sufi yang
mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik para muridnya, seperti
sayyid Ahmad al-Rifa’i (w.570 H), dan sayyid Abdul Qadir Jaelani (w. 651 H)
yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf al-Ghazali. Pilihan yang sama
dilakukan generasi berikut, antara lain yang paling menonjol adalah syeikh Abu
Hasan al-Syadzili ( w.650 H) dan muridnya Abu Abbas al-Mursi (w. 686 H) serta
Ibn Attha Illah al-Sakandari (w. 709 H). 18
Al-Ghazali dipandang sebagi pembela terbesar tasawuf
sunni. Pandangan tasawufnya seiring dengan para shufi aliran pertama, para
shufi abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah. Ia sering diklaim sebagai seorang shufi
terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah ketasawufan di dunia Islam.19
16.Diantara hal-hal yang menjadi kritkan dan
ketidaksetujuan ( bahkan memandang sebagai ahli bid’ah)al-Ghazali terhadap para
filosof adalah : 1. Tuhan tidak mempunyai sifat. 2. Tuhan mempunyai substansi
basit (sederhana) dan tidak mempunyai mahiyah (hakekat). 3. Tuhan tidak
mengetahui juz’iyyat. 4. tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins dan al-fasl. 5.
ala mini tidak bermula. 6. ala mini kekal. 7. pembangkitan jasmani tidak ada.
8. hukum alam tak dapat berubah. 9. jiwa planet-planet mengetahui semua
juz’iyyat. 10. planet-planet adalh bintang yang bergerak dengan kemauan. (
Harun Nasution, Falsaah dan mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan bintang, 2010, hlm. 31-32)
17Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag
dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm 65-66. lihat juga Alwi Shihab, op.cit,
hlm 49-50. Dalam orientasi umum dan
rincian-rinciannya yang dikembangkan al-Ghazali berbeda dengan konsepsi al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami. Ia
menegaskan : “ Kiranya bermanfaat untuk ditegaskan bahwa aku yakin kaum shufi
adalah orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah, dan bahwasanya pilihan
mereka adalah yang paling tepat, jalan mereka yang teraik, dan moral mereka
lebih tinggi. Sekiranya para rasionals, filosof, dan kaum intelektual bergabung
untuk mengubah jalan hidup dan moralitas mereka, atau hendak menggagntinya
dengan sesuatu yang lain, niscaya tidak menemukan yang lebih baik. Hal ini
tiada lain karena segenap hidup kaum shufi, dalam keadaan aktif maupun pasi,
lahir dan batin seluruhnya bersumber dari cahaya kenabian. ( DR. Alwi Shihab,
PH.D, Antara tasawuf Sunni dan Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia, Depok : Pustaka
Iman. 2009/1430, hlm 50)
18. Alwi Shihab, Ibid,
hlm. 50-51
19. Prof. Dr. M. Solihin,
M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 67.
Karakteristik /ciri tasawuf sunni
Adapun karakter atau ciri dari tasawuf sunni adalah :
1. Melandaskan diri pada al-qur’an
dan al-sunnah. Tasawuf jenis ini dalam pengejawantahan ajaran-ajarannya
cenderung memakai landasan qur’an dan sunnah sebagai kerangka pendekatannya.
2. Tidak menggunakan terminologi
–terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat.20
Terminologi –terminologi yang dikembangkan tasawuf sunni lebih transparan,
sehinggga tidak sering bergelut dengan term-term syathahat. Kalaupun ada
term yang mirip syathaha itu dianggapnya merupakan pengalaman pribadi
dan meeka tidak menyebarkanya kepada orang lain. Juga hal itu dianggap sebagai
karamah atau keajaiban yang mereka temui.
3. Lebih bersifat mengajarkan
dualisme dalam hubungan antara tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksud di
sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan
dengan tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda antara keduanya,
dala hal esensina. Sedekat apapun manusia dengan tuhannya, tidak lantas membuat
manusia dapat menyatu dengan tuhan.
4. Kesinambungan antara hakekat
dengan syare’at. Dalam pengertian lebih khusus keterkaitan antara tasawuf
(sebagai aspek batiniyah) dengan fiqih (aspek lahiriyah). Hal ini merupakan
konsekwensi dari paham di atas. Karena berbeda denagn tuhan, manusia dalm
berkomunikasi dengan tuhan tetap berada pada posisi sebagai objek penerima
informasi dari tuhan.
5. Lebih terkonsentrasi pada soal
pembinaan moral, pendidikan akhlaq, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah
(latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajali. 21
20. Syathahat adalah ucapan-acapan ganjil yang keluar dari mulut
seorang shufi. ( Harun Nasution, Islam, hlm. 83) Menurut al-Ghazali syathahat
sangat berbahaya bagi orang awam, menurutnya keganjilan ungkapan itu ada dua :
1. pernyataan panjang lebar tentang cinta kepada Allah maupun rasa penyatuan
dengan Allah, yang mustahil dihindarkan oleh sebagian para shufi yang berpaling
dari amal-amal lahiriyah, yang akhirnya menyatakan terjadinya penyatuan,
seperti mucapan al-Hallaj : Aku yang maha besar. Ucapan begini
membahayakan kaum awam, sehingga banyak petani meninggalkan pekerjaan mereka
lalu menyatakan ungkapan yang mirip denagnnya. 2. keganjilan ungkapan yang
tidak dipahami lahiriyahnya. Ungkapan tersebut biasanya panjang tapi tidak
banyak mengandung arti. Bahkan terkadang tidak dimengerti oleh yang
mengucapkannya sendiri., hanya terucap dari pikiran yang kacau dan hanya
merupakan hasil imajinasinya sendiri. . (
Taftazani, Op.cit, hlm. 116)
21. .Prof. Dr. M. Solihin,
M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm. 121-122. Takhalli adalah
usaha mengosongkan diri dari prilaku
atau akhlaq tercela. Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan
jalan membiasakan diri dengan sikap, prilaku dan akhlaq terpuji. Sedangkan
tajalli adalah terungkapnya nur ghaib (Ibid, hlm. 115-119).
Tokoh-tokoh tasawuf sunni
Diantara tokoh-tokoh tasawuf sunni adalah :
1. Hasan al-Basri.
Nama lengkapnya adalah Abu Sai’d al-Hasan bin Yasar,
adalah seorang zahid yang amat masyhur dikalangan tabi’in. ia dilahirkan di
Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan Rajab tanggal
10 tahun 110 H (728 M). ia dilahirkan
dua malam sebelum khalifah Umar ibn Khattab wafat. Ia dikabarkan bertemu
dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat
lainnya.22
Karir pendidikan Hasan al-Basri di mulai dari Hijaz, ia
berguru hampir kepada semua ulama di sana.
Bersama ayahnya ia kemudian pindah ke Basrah, tempat yang membuatnya masyhur
dengan nama Hasan al-Basri. Puncak keilmuannya ia peroleh di sana. Hasan al-Basri terkenal dengan
keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran bila ia menjadi imam di Basrah secara
khusus dan daerah-daerah lainna secara umum. Tak heran pula bila ceramah-ceramahnya
dihadiri seluruh kelompok masyarakat. Disamping dikenal sebagai zahid, ia pun
dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran.
Diantara karya tulisnya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyah dan
tafsir-tafsir al-qur’an. 23
Diantara ajaran – ajaran tasawuf Hasan al-Basri adalah :
a. Perasan takut yang menyebabkan
hatimu tentram lebih baik daripada rasa tentram yang menimbulkan perasaan
takut.
b. Dunia adalh negeri tempat
beramal.barang siapa bertemu dunia dengan perasan benci dan zuhud, ia akan
berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun barang siapa bertemu dengannya
dengan perasan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan
akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c. Tafakur membawa kita kepada
kebaikan dan berusaha mengerjakannnya.menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan
kita untuk tidak mengulanginya lagi.
d. Dunia ini adalah seorang janda tua
yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.
e. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.
22. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag, op.cit. hlm 122
23. Ibid, hlm. 123
f. Orang yang beriman senantiasa
berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasan takut :
takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih
tinggal serta ahaya yang akan mengancam.
g. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, akan kiamat yang akan menagih janjinya.24
2. Al-Muhasibi
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Haris ibn Asad
al-Basri al-Muhasibi. Lahir di Basrah pada tahun 165 H (781 M) dan wafat di
Basrah pada tahun 243 H (857 M)..25 Ia adalah shufi dan ulama besar
yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadits, dan fiqih. Ia figur
shufi yang dikenal selalu menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali
mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya (karena itu ia digelari
al-Muhasibi).. Ia merupakan guru bagi kebanyakan ulama Baghdad. Orang yang paling banyak menimba
ilmu darinya dan dipandang sebagai murud yang paling dekat dengannya adalah
al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H).26
Al-Muhasibi adalah shufi yang pertama yang menaruh
perhatian terhadap pembahasan moral maupun hal-hal yang berkaitan dengannya
secara mendalam, seperti latihan jiwa, taubat, kesaban, ridha, tawakal, taqwa,
rasa takut, rasa heran, cinta, ingat Allah, jiwa dan penyakit-penyakitnya, dan
tningkah laku maupun etika serta fase-fasenya. Ia juga shufi yang
mengkompromikan ilmu syare’at dengan ilmu hakekat.27
Al-Muhasibi menulis sejmlah buku. Menurut Abd Mun’im
al-Hifni, seorang tasawuf dari Mesir, al-Muhasibi menulis lebih kurang 200
buku. Diantaranya adalah Al-Ri’ayah li Huquuqilllah, al-Washaaya, al-Aql,
al-Makasib dan al-Masaail fi amal al-qulub wa al-Jawarih. 28.
Ajaran tasawuf al-Muhasibi diantaranya :
a. Ma’rifah. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifah, yaitu
:
1. Taat. Awal dari kecintaan adalah taat. Taat merupakan wujud kongkrit
ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan
dengan jalan ketaatan
24. Ibid, hlm 124.
25. Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm.
277-278
26. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag, op.cit. hlm. 125-126.
27. Taftazani, Op.cit, hlm 101.
28. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag, op.cit. hlm. 126
bukan sekedar pengungkapan
ungkapan-ungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan sementara orang.
Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa
pengamalan merupakan kepalsuan semata. Diantara implementasi kecintaan kepada
Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah
dan anggaota tubuh yang lain.
2. Aktivitas anggota tubuh yang disinari oleh cahaya yang memenuhi hati
merupakan tahap ma’rifah selanjutnya.
3.pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan
dan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia
akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan oleh Allah.
4.Tahap keempat adalah apa yang
dikatakan oleh sementara shufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
29
b. Khauf dan raja’. Dalam pandangan
al-Muhasibi, khauf dan raja’ menempati posisi penting dalam perjalanan
seseorang membersihkan jiwa. khauf dan raja’ hanya bisa dilakukan dengan
sampurna hanya dengan berpegang kepada al-qur’an dan al-sunnah. Raja’ dalam
pandangan al-Muhasibi seharusnya melahirkan amal shaleh. Tatkal telah melakukan
amal shaleh seseorang berhak mengharap pahala dari Allah.30.
3. Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah Abd al-Karim ibn Hawazin
al-Qusyairi. Lahir di pada tahun 376 H, di Istiwa, kawasan Naishapur, salah
satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. 31 Disinilah ia bertemu
dengan gurunya, Abu Ali al-Daqqaq, seorang shufi terkenal, al-Qusyairi selalu
menghadiri majlis gurunya, dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf.
Sang guru ini menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syare’at. Karena
itu al-Qusyairi mempelajari fiqih pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad ibn Abu
Bakr al-Thusi (w.405 H) dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqih kepada Abu
Bakr ibn Faurak (w.406 H).selain itu dia pun menjadi murid Abu
29. Ibid, hlm. 127
30. Ibid, hlm. 128-130
31. Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 318
Ishak al-Isfarayini (w.418 H)
dan banyak menelaah karya-karya al-Baqillani. 32 Dari situlah,
al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin ahlussunnah wal jamaah yang dikembangkan
oleh al-Asy’aridan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh aliran
tersebut dalam menentang doktrin- doktrin aliran Mu’tazilah, Karamiyah,
Mujassamah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat seranmgan keras dan
dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Tughrul Bek karena hasutan seorang
menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rafidhah. Bencana yang menimpa
dirinya itu, yang bermula tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya, Syikayah
ahl as-Sunnah. Menurut Ibn Khulaikan al-Qusyairi adalah seorang yang mampu
mengkompromikan syare’at dengan hakekat. Al-Qusyairi wafat tahun 465 H. 33
Adapun ajaran tasawuf al-Qusyairi diantaranya :
a. Mengembalikan tasawuf ke landasan ahlussunnah.34
b. Kesehatan bathin. Maksud dari
kesehatan bathin menurut al-Qusyairi adalah dengan berpegang teguh kepada
al-qur’an dan al-sunnah. Hal ini ia katakan sebagai protes /kecaman terhadap para shufi pada masanya
yang gemar berpakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka
bertentangan dengan mode pakaian mereka. Karena itu ia berkata bahwa kesehatan
bathin yang berpegang kepada al-qur’an dan al-sunnah itu lebih penting
ketimbang pakaian lahiriyah. Ia berkata : “Duhai, saudarku ! janganlah engkau
terpesona oleh pakaian lahiriyah maupun sebutan yang Kau lihat
(pada para
32. Taftazani, op.cit, hlm. 319
33. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag, op.cit. hlm. 131
34. Taftazani berkata, Seandainya
karya al-qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam,
maka akan tampak jelas bagaimana al-qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke
atas landasan doktrin ahlussunnah. Sebagaimana pernyataannya : “ketahuilah !
para tokoh aliran ini ( maksudnya para shufi) membina prinsip- prinsip tasawuf
atas landasan- landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah doktrin
mereka dari penyimpangn. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf
maupun ahlussunah, yang tidak tertandingi serta tidak mengenal macet. Meeka pun
tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakn dari
etiadaannya. Karena itu, tokoh aliran ini, al-Junaid, berkata : tauhid adalh
pemisah hal yang lama dari hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin merka pun
didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gambling. Dan ini sepeti yang
dikatakan Abu Muhammad al-Jariri : barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid
pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu
ke dalam jurang kehancurannya.” (Taftazani, op.cit, hlm. 142).
shufi sezamannya). Sebab,
ketika realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para shufi
yang mengada-ada dalam berpakaian……setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan
kebersihan mauoun penjauhan diri dari maksiat adalh tasawuf palsu serta
memberatkan diri; dan setiap yang bathin itu bertentangan dengan yang lahir
adalah keliru serta bukannya yang bathin….35
4. Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid 36 Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi
al-Syafi’i. Ia lebih dikenal dengan nama al-Ghazali.37 Ia dilahirkan
pada tahun 450 H /1058 M di suatu kampong yang ernama Gazalah, di daerah Tus
yang terletak di wilayah khurasan.38
Ayahnya, Muhammad adalah seorang penenun dan mempunayi
toko tenun dikampungnya. Ayahnya itu seorang pencinta lmu yang bercita-cita
tinggi. Ia selalu berdoa semoga tuhan memberinya purta-putra yang
berpengetahuan luas dan mempunyai ilmu yang banyak.dan ia adalah seorang muslim
yang saleh yang taat menjalankan agama.39 pada masa kecilnya
al-Ghazali belajar pada salah seorang faqih di kota kelahirannya, Thus, yaitu Ahmad
al-Radzkani. Lalu ia pergi ke Jurjan dan belajar pada imam Abu Nasr al-Ismaili.
Setelah itu dia kembali ke Thus dan terus pergi ke Nishapur. Di sana dia belajar pada
seorang teolog aliran asy’ariyah yang terkenal, Abu Ma’al al-Juwaini, yang
bergelar imam al-Haramain. Menurut Ibn Khulaikan, di bawah bimbingan gurunya
itulah dia “sungguh-sungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai
masalah mazhab-mazhab, perbedaan pendapatnya, perbantahannya, teologinya, ushul
fiqihnya, dan membaca filsafat maupun hal-hal lain yang berkaitan
35.Taftazani, op.cit, hlm. 143. . Prof. Dr. M.
Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit. hlm.133
36. Ia dipanggil Abu Hamid
karena ia mempunyai anak laki-laki yang bernama Abu Hamid. Anak ini meninggal
dunia semenjak kecil sebelum wafatnya alGhazali. Karena anak inilah, alGhazali di
gelari Abu Hamid. (Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, op.cit.
hlm. 135)
37. Ada dua macam penulisan nama al-Ghazali : 1.
ditulis dengan “al-Ghazali”, ini berasal dari nama desa /kampong tempat
kelahirannya, yaitu Gazalah; karena itu sebutannya ialah al-Ghazali (dengan
satu “z”). dan 2. berasal dari pekerjaannya sehari-hari yang dihadapinya dan
dikerjakan oleh ayahnya, yaitu menenun dan menjal kain tenunannya yang disebut
denagn “gazzal”; karena itu panggilannya adalh al-Gazzali (dengan dua “z”).
(Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 322).
38. Ibid, hlm. 322.
39. Ibid
dengannya, serta menguasai berbagai pendapat tentang semua cabang
ilmu tersebut. 40
Samuel M.Zwemer mengatakan ada empat orang yang paling
besar jasanya terhadap Islam, yaitu nabi Muhammad sendiri, imam Bukhari sebagai
pengumpul hadits yang paling masyhur, imam al-Asy’ari sebagai teolog terbesar
dan penantang rasionalisme, dan imam al-Ghazali sebagai seorang “reformer” dan
shufi. Nama yang disebut paling akhir ini telah meninggalkan pengaruh yang
begitu luas terhadap sejarah Islam dibandingkan dengan siapapun setelah
Muhammad. Boleh jadi karena karena jasa dan pengaruhnya yang begitu besar
itulah, maka Zwemer dan banyak kaum muslimin kata Nicholson mengatakan :
“seandainya setelah nabi Muhammad ada seorang nabi, maka al-Ghazalilah nabinya.41
Diantara karya-karya al-Ghazali adalah : Maqasid
al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Mi’yar al-Ilm (bidang filsafat).
Al-Iqtishod fi al-I’tiqod, al-Risalah al-qudsiyah (bidang ilu kalam).
Al-Musytasfa, al-wajiz, al-wasit, al-basit (bidang ushul fiqih). Ihya
ulul al-din, al-munqiz min al-dholal, Minhaj al-abidin (bidang tasawuf) dan
lain-lain.42
Setelah mengabdiakn diri untuk ilmu pengetahuan, menulis
dan mengajar, maka pada usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di kota
kelahirannya, Tus, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H /19 Desember 1111M, 43
dalam pangkuan saudaranya Ahmad al-Ghazali.44
Ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali diantaranya :
a. Ma’rifah. Di dalam tasawufnya
al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-qur’an dan sunnah ditambah
dengan doktrin ahlussunnah wal jamaah. Dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan
semua kecenderungan gnotis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte
Ismailiyyah, aliran Syi’ah, dan lain-lainnya. Corak tasawufnya adalah
40. Taftazani, op.cit, hlm. 148
41. Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 330
42. Ibid, hlm. 327-328
43. . Ibid, hlm.. 326.
44. Saudara kandungnya,
Ahmad al-Ghazali, mengatakan bahwa pada hari senin ketika waktu shubuh, al-Ghazali
berwudhu kemudian melakukan shalat, lalu mengatakan, “saya harus mengenakan
kain kafan”, kemudian beliau mengambil sendiri, menciumi dan menutupkan pada
kedua matanya seraya mengatakan : “dengan rasa tunduk dan patuh, saya menghadap
kehadapan radja diraja, kemudian beliau memanjangkan kedua kakinya menghadap
kiblat, lalu wafatlah beliau sebelum pagi menyingsing. (Al-Sayyid Abu Bakar ibn
Muhammad Syata, Kifayat al-Atqiya wa mihaj asy-fiya, trans : Menapak
jejak kaum shufi, dunia ilmu opset, Surabaya,
hlm.272)
Psiko-moral yang menutamakan pendididkan moral.hal ini dapat dilihat
seperti pada karya-karyanya seperti ). Ihya ulul al-din, Mizan al-amal,
Minhaj al-abidin, Bidayah al-Hidayah, Mi’raj al-salikin, dan ayuhal walad. 45
Mengenaai ma’rifah, menurutnya, adalah mengetahui
rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan tuhan tentang segala yang ada.
Alat memperoleh ma’rifah bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Qalb
dapat mengetahui hakekat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya tuhan, qalb
dapat mengetahui rahasia-rahasia tuhan dengan sirr, qalb dan ruh
yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah ketiganya akan
menerima iluminasi (kasyf) dari Allah. Pada waktui tu pulalah, Allah menurunkan
cahaya –Nya kepada sang sufi sehinnga yang dilihat sang shufi hanyalah Allah.
Di sini, sampailah ia ketingkat ma-rifah.46
Ma’rifah seorang shufi tidak dihalangi hijab,
sebagaimana ia melihat si Fulan ada di rumah dengan mata kepalanya sendiri.
Ringkasnya, ma’rifah menurut al-Ghazali tidak seperti ma’rifah menurut orang
awam maupun ma’rifah ulama mutakallimin, tetapi ma’rifah shufi yang dibangun
atas dasar dzauq ruhani dan kasyf ilahi. Ma’rifah seperti ini
dapat dicapai oleh para khawwas auliya tanpa melalui perantara, langsung
dari Allah.47
b. As-Sa’adah.
Menurut al-Ghazali kelezatan dan kebahagian yang paling
tinggi adalah melihat Allah. Di dalam kitab kimiya as-sa’adah, ia
menjelaskan bahwa as-sa’adah (kebahagian) itu sesuai dengan watak
/tabiat, sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata
terletak ketika melihat gambaryang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak
ketika mendengar suara yang merdu.demikian jga seluruh anggota tubuh,
masing-masing kenikmatan tersndiri. Kenikmatan hati –sebagai alat memperoleh
ma’rifah- terletak ketika melihat Allah.
Melihat Allah merupakam kenikmatan yang paling agung yang tiada taranya karena
ma’rifah itu sendiri agung dan mulia.48
45. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag, op.cit. hlm. 140.
46. Ibid, hlm.. 142
47. Ibid, hlm..
142-143. untuk lebih jelas mengenai perbedaan ma’rifah menurut al-Ghazali yang
berbeda dengan ma’rifah menurut pengertian para shufi sebelumnya, lihat al-Ghazali, Ihya ulum al-din, (Kairo
: Mustafa al-Halb, 1334 H, III, hlm. 12
48. Ibid, hlm.. 143
BAB III
TASAWUF FALSAFI
Pengertian
tasawuf falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan
tasawuf akhlaqi /sunni, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam
ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. 49
Sejarah
perkembangan tasawuf falsafi
Tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah
Islam sejak abad ke enam hijriyyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad
kemudian. Sejak itu tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang terutama
dikalangan para shufi yang juga filosof. 50
Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran
tasawuf falsafi /filosofis ini, dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran
tasawuf jenis ini bercampur dengan ajaran filsafat di luar Islam, seperti
Yunani, Persia, India dan agama Nasrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf
tetap tidak hilang, karena para tokohnya –meskipun mempunyai latar belakang
kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda sejalan ekspansi Islam yang telah
meluas pada waktu itu—tetap berusaha menjaga kemandirian ajran-ajarannya,
terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini
dapat menjawab pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf jenis ini, begitu gigih
mengkompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam tersebut ke
dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminology-terminologi filsafat,
tetapi yang maknanya telah disesuaikan denagn ajaran tasawuf yang mereka anut.51
Para shufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini
mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai alirannya, seperti
Socrates, Plato, Aristoteles, dan aliran Stoa, serta aliran Neo-Platonisme dengan
filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka
49. Ibid, hlm.. 171. Taftazani, Op.cit. hlm. 187
50. . Taftazani, Ibid, hlm. 187
51. Ibid, hlm. 187.
pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut
Hermetisisme,52 yang karya- karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa
Arab, dan filsafat-filsafat timur kuno, baik dari Persia maupun India, serta
menelaah filsafat-filsafat para filosof Islam, seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan
lain-lain. Mereka juga dipengaruhi aliran bathiniyah sekte Ismailiyah dari aliran
Syi’ah, dan risalah- risalah ikhwan al-Shafa. Disamping itu mereka memilii
pemahaman yang luas dibidang ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, kalam, hadits
serta tafsir. Jelasnya mereka bersifat ensiklopedis dan berlatar belakang
budaya yang bermacam-macam. 53
Selama abad kelima hijriyah, tasawuf falsafi mengalami
kemunduran.54 namun pada abad ke enam hijriyah muncul sekelompok
tokoh shufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teori-teori mereka
yang bersifat setengah-setengah. Artinya, disebut tasawuf murni bukan, dan
murni filsafat pun tidak. Diantara mereka tercatat al-Syuhrawardi al-Maqtul (
w. 549 H), penyusun kitab al-Hikmah al-Isyraq, syeikh akbar Muhyidin ibn
Arabi’ ( w. 638 H), Abd al-Haqq ibn
Sab’in al-Mursi ( w. 669 H). serta tokoh –tokoh lain yang yang sealiran
dengannya. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan pendapat asing , seperti
filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme, yang tentunya ajaran tasawuf
mereka banyak terpengaruh oleh teori-teori filsafat. Mereka ini
banyak mempunyai
teori mendalam mengenai soal jiwa, moral, pengetahuan, wujud, yang berdampak
besar bagi para shufi sesudahnya.55
52..Filsafat Hermetis
diatributkan pada Hermes. Dituturkan ia adalah nabi Idris atau Akhnu’ dan
kepribadiannya diperselsihi. Hermes dalam kalangan kaum muslimin dipandang
sebagai pengasas ilmu pengetahuan. Khsususnya ilmu kedokteran, filsafat ,
kimia, astronomi dan astrologi. Ia banyak disebut dalam sumber-sumber rujukan
Islam. Filsafat hermetis merupakan filsafat lama yang memainkankan peran
penting dalam pikiran helenis akhir di Iskandariah dan tulisan –tulisan dari
filsafat ini timbul sekitar abad kedua masehi. Dituturkan bahwa penulisnya
adalah para pendeta Mesir yang menguasai bahasa Yunani yang masuk warga Negara
Mesir. Filsafat ini dipandang sebagai paduan antara Platonisme, kebijakan
Mesir, dan sebagian mitologi Yunani. Kecenderungan umumnya ialah kembali pada
masa lampau. Para pengikut filsafat ini begitu
mengagungkan Plato dan Pythagoras dan mereka lebih mendahulukan wahyu dan ilham
ketimbang penelitian intelektual rasional dalam pengetahuan. Dalam menopang
pendapat-pendapat mereka, mereka mengkaitkan filsafat dengan dunia timur dan
para nabinya. Kaum muslimin mengenal filsafat hermetis setelah penaklukan Mesir
dan Syam dan mereka menelaah sebagian karya dari filsafat itu. ( Taftazani, Sufi
dari zaman ke zaman, hlm. 268 )
53. Ibid, hlm. 188
54. Hal ini imbas dari kejayaan
dari teologi ahlussunah wal jamaah yang dipelopori oleh Abu Hasan
al-Asyari ( w. 324 H) yang begitu piawai
dalam menggagas pemikiran-pemikitan sunninya, terutama dalam bidang ilmu
kalam. lihat . Prof. Dr. M. Solihin,
M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Pustaka setia : Bandung 2008 M / 1429 H)
hlm 69. lihat juga Taftazani, Op.cit,
hlm 140. selain itu juga disebabkan oleh hadirnya imam al-Ghazali yang dengan
keluasan dan kedalaman ilmunya banyak mengkritik tasawuf falsafi.
55. Prof. Dr. M. Solihin,
M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tasawuf, hlm. 71
Dengan munculnya para shufi yang juga filosof ini, orang
mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yakni tasawuf
akhlaqi. Pada penyebutan selanjutnya, tasawuf akhlaqi kemudian identik dengan
tasawuf sunni. Hanya saja, titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada
upaya yang dilakukan oleh shufi-shufi dalam memagari tasawufnya dengan
al-qur’an dan sunnah. Dengan demikian jelas sekali adanya klasifikasi aliran
tasawuf menjadi dua, yakni tasawuf sunni yang lebih berorientasi menampilkan pengokohan
akhlaq, dan tasawuf falsafi yakni aliran yang menonjolkan pemikiran-pemikiran
filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya dalam ajaran-ajaran yang
dikembangkannya.56
Karakter /cirri tasawuf falsafi
1.Ajaran-ajaran tasawufnya merupakan
perpaduan antara ajaran tasawuf denmgan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam,
seperti Yunani, Persia,
India,
dan agama Nasrani.
2. Para
tokohnya mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan
beraneka ragam, sejalan dengan ekspansi Islam yang berjalan saat itu.
3. Adanya terminologi-terminologi
filsafat dalam pengungkapan ajaran-ajarannya yang maknanya disesuaikan dengan
ajaran tasawuf yang mereka anut dan berkecenderungan mendalam pada pantaisme.
4.Trekadang menimbulkan
ungkapan-ungkapan yang samar (syathahat) akibat dari banyaknya peristilahan
khusus yang hanya dimengerti oleh kalangan tertentu.57
5.
Obyek utama yang menjadi perhatian para shufi filosofi adalah :
a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta nintropeksi diri yang
timbul darinya.
b. Iluminasi ataupun hakekat yang tersingkap dari alam ghaib.
c. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh
terhadap berbagai bentuk keluarbiasaan.
d. Penciptan ungkapan-ungkapan yang
pengertiannya samar-samar.
56.Tokoh pertama yang dapat
dipandang sebagai tokoh tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah dari Cordopa,
Andalusia ; w. 319 H. ia adalah filosof pertama yang muncul di Andalusia dan sekaligus dapat disebut filosof sufi
pertama di dunia Islam. Ia menganut pham emanasi, yang mirip dengan paham
emanasi Plotinus ( w. 270 M.) tingkatan- tingkatan wujud yang memancar dari
tuhan, dalam pahamnya, adalah materi pertama yang bersifat rohaniyah, kemudian
akal universal, diikuti jiwa universal, kemudian nature universal, dan terakhir
materi kedua yang bersifat murakkab ( tersusun ). Menurutnya, melalui
jalan tasawuf, manusia dapat melepaskan
jiwanya dari belenggu penjara badan, dan memperoleh karunia tuhan berupa
penyinaran hati dengan sinar tuhan. Itulah ma’rifat yang memberikan kebahagian
sejati. Ia juga menganut paham bahwa kehidupan ukhrawi itu bersifat rohaniyah
spiritual. ( Ibid, hlm. 70 )
57. Taftazani, Op.cit, hlm. 187-189
Tokoh-tokoh
tasawuf falsafi
1. Ibn Arabi
Nama lengkapnya Muhammad ibn Ali ibn Ahmad ibn Abdullah
ath-Thai’ al-Haitami. Ia lahir di Murcia,
Andalusia tenggara, Spanyol, pada tanggal 17
Ramadhan tahun 560 H / 28 Juli 1163 M, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan
ilmuan. Tahun 620 H, ia tinggal di Hijaz dan meninggal di sana pada tanggal 28
Rabi’ul akhir 638 H / 16 November 1240 M. Namanya biasa disebut tanpa “al” (bukan
Ibn al-Arabi) untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibn al-Arabi, seorang qodhi
dari sevilla yang wafat tahun 543 H. di Sevilla spanyol ia mempelajari
al-qur’an, hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia
terkenal, yakni Ibn Hazm az-Zahiri. 58
Diantara karya monumentalnya adalah Al-Futuh
alMakiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah
haji. Karya lainnya adalah Turjuman al-Asywaq yang ditulisnya untuk
mengenang kecantikan, ketaqwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari
keluarga seorang shufi dari Persia.
Karya lainnya : Masyahid al-Asrar, mathali’ al-anwar al-ilahiyyah, hilyat
al-abdal, al-ma’rifah al-ilahiyah, al-isra’ ila maqam al-atsna, muhadharat
al-abrar, kitab al-akhlaq, dan lain-lain.59
Ajaran –ajaran tasawuf
Ibn Arabi adalah :
a. Wahdah al-Wujud (kesatuan wujud).
Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu
dan wujud makhluq pada hakekatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan
antra keduanya (khaliq dan makhluq) dari segi hakekat. Adapun kalau ada yang
mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat
dari sudut pandangan panca indera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya
dalam menangkap hakekat apa yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan zatiyah yang
segala sesuatuberhimpun pada-Nya. Sedangkan ala mini menurut Ibn Arabi pada
hakekatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakekat alam.tidak ada perbedaan
wujud yang qadim yang disebut khaliq dengan wujud yang baru yang disebut makhluq. Tidak ada
perbedaan antara abid (yang menyembah) dan ma’bud (yang
disembah).bahkan antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu.60
58. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag,op.cit, hlm. 174-175. Drs.
Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 339.
59. Ibid., hlm 175
60.Ibid., hlm
17176-177
b. Haqiqah Muhammadiyyah
Dalam tori Ibn Arabi terjadi alam ini tidak bisa
dipisahkan dengan ajarannya tentang Haqiqah Muhammadiyyah / nur Muhamad .Ibn
Arabi mengatakan bahwa nur Muhamad adalah sesuatu yang pertama sekali
wujud (menitis) dari nur ilahi, menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses
penciptaanalam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai
berikut : pertama, wujud tuhan sebagai wujud mutlaq, yaitu zat yang mandiri dan
tidak berhajat kepada sesuatu apapun. Kedua, wujud Haqiqah Muhammadiyyah
sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud tuhan dan dari sini muncul
segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya.61
c. Wahdah al-Adyan (kesatuan agama)
mengenai wahdah al-Adyan, Ibn Arabi memandang bahwa
sumner agama adalah satu, yaitu hakekat Muhammadiyyah. Konsekwensinya, semua
agama adalah tunggal dan semua itu adalah kepunyaan Allah. Seorang yang
benar-benar arif adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya.
62
2. Abdul Karim al-Jilli
Nama lengkapnya Abdul Karim ibn Ibrahim al-Jilli. Ia
lahir pada tahun 767 H/1365 M. di JIlan (Gilan), sebuah propinsi di sebelah
selatan Kaspia dan wafat pada tahun 805 H/1417 M. (riwayat lain tahun 1403 M).
Nama al-Jilli diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang
shufi terkenal dari Baghdad.
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah
sumber mengatakan bahwa ia pernah melaukan perjalanan ke India tahun
1387 M. kemudian belajar tasawuf di
bawah bimbingan Abdul Qadir al-Jaelani, seorang pendiri dan pemimpin
tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal.di samping itu berguru pula kepada
Syeikh Syarafuddin Ismail ibn Ibrahim al-Jabarti di Jabid (Yaman0 tahun
1393-1403 M. 63
Kitab al-Jilli yang terkenal yang menggambarkan ajaran
tasawufnya, khususnya tentang konsep al-insan al-kamil (mansia sampurna)
berjudul Al-insan al-kamil fi ma’rifah al-awakhir wa alawali (dua juz untuk
satu buku, yang memuat 63 bab : 41 bab untuk juz
61. Ibid., hlm 182-183.
62. Ibid.
63.Ibid., hlm 184
pertama dan 22 bab untuk juz
kedua). Kitab ini menurutnya, ditulis berdasarkan intruksi Allah yang
diterimanya melalui ilham. 64
Adapun ajaran tasawuf al-Jilli adalah :
a. Insan Kamil (mansia sampurna). Menurutnya
insan kamil (mansia sampurna) adalah
nuskhah atau copi tuhan, seperti disebutkan dalam hadits : “Allah
menciptakan Adam dalam bentuk yang maharahman”. Juga hadits lain : “Allah
menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”. Sebagaiman diketahui Alah memiliki
sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak dan sebagainya. Manusia
(Adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Al-Jilli berpendapat bahwa
nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah itu pada dasarnya merupakan milik insan
kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinay. Sebab, nama-nama
dan sifat-sifat tersebut tidak memilii tempat berwujud, melainkan pada insan
kamil. 65
b. Maqoomat (martabat). Sebagai seorang shufi al-Jilli –dengan membawa
filsafat insan kamil- merumuskan beberapa maqom yang harus dilalui seorang
shufi yang menurut istilahnya disebut al-Martabat (jenjang atau tingkat). Yaitu
: Islam, Iman, Shaleh, Ihsan, Syahadah, shiddiqiyyah dan qurban.66
3. Ibn Sabi’in
Nama lengkapnya Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhammad ibn Nasr,
seorang shufi juga filosof dari Andalusia. Ia
dipanggil Ibn Sabi’in dan digelari quthbuddin, terkadang ia dikenal pula
dengan Abu Muhammad dan mempunyai usal usul Arab, dan dilaahirkan tahun 614 H
/1217/1218 M) di kawasan Murcia.ia mempelajari bahasa Arab dan sastra pada sekelompok gurunya, ia juga
mempelajari ilmu-ilmu agama dari mazhab Maliki, ilmu –ilmu logika, dan
filsafat. Ia mengatakan bahwa diantara guru-gurunya itu adalah Ibn Dhihaq, yang
dikenal dengan Ibn Mir’ah (w.611 H), pensyarah kitab al-Irsyad, karya
al-Juwaini. Karena Ibn Sabi’in lahir 614 H, sementara Ibn Dhihaq lmeninggal 611
H, jelas bahwa Ibn Sabi’in menjadi murid Ibn Dhihaq hanya lewat kajiannya
terhadap karya-
64. Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 348
65. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag
dan Dr. Rosihon Anwar, M.Ag,op.cit, hlm. 185
66. Ibid, hlm. 189.
karya tokoh tersebut. Begitu juga dalam hal hubungannya dengan dua
guru yang linnya, yaitu al-Yuni (w,622 H) dan al-Hurani (w. 538 H ) yang kedua
ahli tentang huruf maupun nama. Menurut salah seorang murid Ibn Sabi’in yang
mensyarah kitab al-Ahd, hubungan antara Ibn Sabi’in dan para gurunya
tersebut lebih banyak terjalin lewat kitab ketimbang secara langsung. 67
Ibn Sabi’in meninggalkan karya sebanyak 41 buah yang
menerangkan tasawufnya secara teoritis maupun peraktis, dengan ncara yang
ringkas maupun panjang lebar. Kebanyakan karya-karyanya telah hilang. Sebagian
risalahnya telah disunting Abdurrrahman al-Badawi dengan judul Rasaa’il Ibn
Sabi’in, dan karyanya yang lainnya ,
jawab shahib shiqiliyyah, tellah disunting oleh Syarifudin Yaltaqiya, Adapun
karyanya yang terpenting, Budd al-Arif, belum lagi diterbitkan.68
Ajaran tasawuf Ibn Sabi’in adalah :
a. Kesatuan Mutlaq. Gagasan paham ini
sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Alllah semata. Wujud-wujud
lainnya hanyalah wujud Yang satu itu sendiri.
Jelasnya, wujud-wujud lain itu hakekatnya sama sekali tidak lebih dari
wujud yang Satu semata. Dengan demikian, wujud dalm kenyataannya hanya satu
persoalan yang tetap. Paham ini dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak.69
b. Penolakan terhadap logika
Aristolian.
Paham Ibn Sabi’in tentang kesatuan mutlak yelah membuatnya menolak
logika Aristolian. Oleh karena itu, dalam karyanya, Budd al-Arif, ia
berusaha menyusun suatu logika baru yang bersifat iluminatif, sebagai pengganti
logika yang berdasarkan pada konsepsi jamak. Ibn Sabi’in berpendapat bahwa
logikanya tersebut yang dia sebut juga denagn logika pencapaian kesatuan
mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan penalaran,
tetapi termasuk hembusan ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum
pernah dilihatnya maupun mendengar yang belum pernah didengar. Dengan demikian
logika tersebut bercorak iluminatif.70
67. Taftazani, op.cit, hlm. 206
68. Ibid, hlm. 209
69. Ibid,
hlm. 210-211. Drs. Asmaran As, M.A., Op. cit, hlm. 197
70.. Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag dan Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag,op.cit, hlm. 199.
BAB IV
PENUTUP
Demikian pembahasan tasawuf sunni dan falsafi. Dari
pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya :
1.Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf
yang para penganutnya memagari atau mendasari tasawuf mereka dengan al-qur’an
dan al-sunnah, serta mengaitkan keadaan (ahwaal) dan tingkatan (maqoomaah)
rohaniah mereka kepada kedua sumber tersebut
2. Tasawuf falsafi adalah tasawuf
yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional
pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi /sunni, tasawuf falsafi menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para
tokohnya
3. Sejarah perkembangan tasawuf sunni
mengalami beberapa tahap perkembangan,namun puncaknya berada ditangan
al-Ghazali.
4. Demikian pula sejarah perkembangan
tasawuf falsafi mengalami tahap-tahap perkembangan, walaupun pada abad ke lima sempat mengalami
kemunduran.
5. Diantara tokoh-tokoh tasawuf sunni
adalah Hasan al-Basri, al-Muhasibi, al-Qusyairi dan imam al-Ghazali.
6. Diantara tokoh-tokoh tasawuf
falsafi adalah Ibn Arabi, al-Jilli dan Ibn Sabi’in.
7. Tasawuf sunni dan tasawuf falsafi
mempunyai karakteristik /cirri masing-masing.
8. Masing-masing dari tokoh-tokoh
tasawuf ( baik sunni maupun falsafi) mempunyai ajaran tasawuf masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
. M. Solihin, Prof. Dr. M.Ag dan Rosihon Anwar, Rosihon, Dr.
M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Pustaka setia : Bandung 2008 M / 1429 H)
. Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Dr, sufi dari
zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam
(Bandung : Pustaka. 1418 H / 1997 M)
Shihab, Alwi, DR. PH.D, Antara tasawuf Sunni dan
Falsafi ; Akar tasawuf di Indonesia,
Depok : Pustaka Iman. 2009/1430
Nasution, Harun, Islam, ditinjau dari berbagai aspeknya,
jilid II, UI-Press : Jakarta,
2008
…………………..Falsafah
dan mitisisme dalam Islam, Jakarta
: Bulan Bintang , 2010
Drs. Asmaran As,
M.A. Pengantar studi tasawuf, Jakarta
: Persada, 1996
Syata, al-Sayyid Abu Bakar ibn Muhammad , Kifayat al-Atqiya wa mihaj asy-fiya,
trans : Menapak jejak kaum shufi, dunia ilmu opset, Surabaya, 1997
Ghazali, Al, Ihya
ulum al-din, III, Kairo : Mustafa al-Halb, 1334 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar